RAKYAT.NEWS JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid,S.H.,M.H. menyampaikan pandangan dan argumentasi konstitusional terkait polemik pengurangan masa jabatan Walikota Makassar.

Fahri Bachmid berpendapat bahwa kebijakan memformulasikan penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota termasuk pemotongan atau pengurangan masa jabatan kepala daerah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) bersifat transisional atau sementara dan sekali terjadi (einmalig) demi terselenggaranya pemilihan serentak nasional pada 2024. Fahri berpendapat agar pemilihan berikutnya berakhirnya masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota bersamaan dengan periodesasi pemilihan gubernur, bupati, dan walikota yakni setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak nasional.

Fahri Bachmid mengatakan bahwa berdasarkan pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 18/PUU-XX/2022, Perkara tersebut diajukan oleh Frans Manery dan Muchlis Tapi Tapi yang merupakan Bupati dan Wakil Bupati Halmahera Utara, Mahkamah berpendapat bahwa pemotongan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020 sebagaimana dimaksud Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada, adalah tidak bertentangan dengan konsepsi hak asasi manusia, sebagai hak politik, dengan demikian hak tersebut secara doktriner terkategori sebagai hak yang dapat dikurangi (derogable right) yang artinya hak tersebut boleh dikurangi dan dibatasi pemenuhannya oleh negara berdasarkan alasan-alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

“Secara konstitusional MK mengatakan bahwa hak untuk memeroleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, “in casu”  masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota karena keadaan atau alasan tertentu dapat dikurangi, termasuk dalam hal ini dalam rangka memenuhi kebijakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota serentak nasional, selain itu, pemotongan atau pengurangan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota juga telah dilakukan melalui undang-undang yakni dalam Pasal 201 ayat (7) UU 10/2016 yang bersifat transisional dan berlaku untuk semua gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil  pemilihan gubernur, bupati, dan walikota pada 2020, sehingga oleh karenanya juga tidak bersifat diskriminatif,” katanya.

Fahri menyatakan bahwa ketentuan Pasal 201 UU Pilkada dimaksudkan untuk menghindari kekosongan hukum dan menjamin kepastian hukum serta bersifat transisional dalam rangka penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024, MK dalam pertimbangannya, bahwa jika merifer pada Butir 127 Lampiran II UU 12/2011, menegaskan bahwa ketentuan peralihan telah memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang didasarkan pada Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang baru, Adapun tujuannya, yaitu menghindari terjadinya kekosongan hukum; menjamin kepastian hukum; memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan; dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara,” dan secara khusus mengenai kepastian hukum atas persoalan tersebut, MK mengatakan adanya pengaturan masa jabatan kepala daerah yang terpilih saat Pilkada 2020 akan berakhir pada penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 telah diatur secara eksplisit dalam ketentuan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada, dan MK berpendapat bahwa dalam batas penalaran yang wajar, ketentuan dimaksud telah diketahui oleh semua pasangan calon yang ikut berkontestasi dalam pemilihan pada 2020 lalu, sehingga pengurangan atau pemotongan waktu masa jabatan kepala daerah demikian telah diketahui secara pasti oleh setiap pasangan calon.

“Berdasarkan ketentuan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada yang menentukan masa jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota hasil pemilihan 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024 tersebut, tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum dan keadilan serta tidak menghalangi kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, dengan demikian, jika ada pihak yang masih mencoba mempersoalkan pengurangan masa jabatan kepala daerah adalah tidak “reasonable” dan dapat dinilai sebagai tindakan pembangkangan atas prinsip dan nilai konstitusi termasuk terhadap putusan Mahkamah Konstitusi itu sendiri, “constitution disobedience” tutupnya.