Penulis : Bahrum Syaputra (Aktifis Pemerhati Hukum dan HAM, Alumni Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar).

Perguruan Tinggi sejatinya merupakan tempat menimba ilmu, mendapatkan status akademik, sebagai laboratorium yang mencetak generasi intelektual yang siap dalam menghadapi tantangan dan persaingan global.

Secara universal Perguruan Tinggi menjadi tempat berkumpulnya manusia-manusia terpelajar yang memahami setiap dinamika yang terjadi Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan ikut serta memikirkan solusi untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh Negara dan bangsa.

Tidak sedikit Perguruan Tinggi yang telah berkontribusi dalam berbagai hal yang secara nyata diwujudkan melalui kajian dan riset, memberikan masukan kepada pemerintah atas permasalahan yang berkaitan dengan sosial, ekonomi, politik, dan hukum.

Apa yang telah dilakukan oleh Perguruan Tinggi sejauh ini sangatlah bermanfaat dan berdampak positif bagi arah pembangunan bangsa dan negara terkhusus pada bidang peningkatan Sumber daya manusia.

Namun semua prestasi yang sudah ditorehkan perguruan tinggi menjadi tercoreng dikarenakan prilaku korup pimpinan perguruan tinggi. Korupsi yang selama ini dikenal sebagai perbuatan tidak benar seakan menjadi benar ketika dilakukan oleh orang-orang yang bergelar maha terpelajar, dan hampir semua yang di vonis bersalah karena korupsi adalah para Rektor yang mayoritas adalah guru besar.

Beberapa Rektor yang tersandung kasus korupsi diantaranya Rektor Universitas Lampung Karomani, Rektor Universitas Airlangga Fasichul Lisan, Rektor Universitas Islam Negeri Sumut Saidurahman, Rektor Universitas Negeri Jakarta Komarudin, Rektor UIN Syarif Kasim Akhmad Mujahidin, Rektor Universitas Udayana I Nyoman Gde Antara, dan masih ada beberapa lagi yang tidak disebutkan.

Korupsi yang sudah masuk ke dalam dunia pendidikan ini tentu sangat memiriskan, apalagi yang melakukannya adalah para Rektor. Seperti halnya yang saat ini sedang heboh dan masalahnya sedang ditangani oleh Polda Sulsel yakni Dugaan Korupsi Pembangunan Gedung perkuliahan untuk mahasiswa Pascasarjana UIN Alauddin Makassar.

Kampus yang pernah saya tempa untuk menuntut ilmu ini sedang tidak baik-baik saja, dan saya pikir bahwa dengan adanya masalah ini semakin memperburuk citra kampus UIN sebagai kampus yang notabenenya berlabel Islam. Apalagi dengan melihat banyaknya Rektor yang tersandung kasus korupsi, saya semakin khawatir kedepannya dunia pendidikan tinggi dicemari oleh prilaku koruptif karena adanya kepentingan pribadi antara rektor dan pihak eksternal, ya beginilah jika ada persekongkolan antara rektor dan politisi tentu semua urusan kampus akan ditunggangi.

Rektor yang seharusnya memberikan contoh kepada civitas akademik justru ikut bermain dalam pusaran korupsi. Sebagaimana yang dirilis oleh Indonesian Corruption Watch (ICW), menyebutkan bahwa pola-pola korupsi yang dilakukan oleh para rektor ini terbilang berani, karena menganggap bahwa Perguruan Tinggi punya otonomi tersendiri sehingga muncul obesesi untuk melakukan pelanggaran.

Institusi Perguruan Tinggi saat ini tercoreng karena praktek korupsi. Perguruan Tinggi yang dikenal dengan Tri Dharma ini telah menjadi lahan bagi suburnya praktik korupsi. Beberapa kalangan bahkan menilai korupsi di Perguruan Tinggi sebagai suatu kejahatan kerah putih (white collar crime) karena dilakukan oleh orang-orang terdidik dan terpelajar.

Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch terdapat sedikitnya 37 kasus dugaan korupsi di Perguruan Tinggi yang telah dan sedang diproses oleh institusi penegak hukum maupun pengawas internal. Jumlah kerugian keuangan negara yang ditimbulkan mencapai Rp 218,804 miliar dan nilai suap mencapai sekitar Rp 1,78 miliar. Pada sisi aktor, pelaku korupsi di Perguruan Tinggi merupakan civitas akademika, pegawai pemerintah daerah dan pihak swasta. ICW melakukan pemetaan sedikitnya 12 (dua belas) Pola Korupsi di Perguruan Tinggi antara lain Korupsi dalam pengadaan barang dan jasa; Korupsi dana pendidikan atau Corporate Social Responsibility (CSR); Korupsi anggaran internal Perguruan Tinggi; Korupsi dana penelitian; Korupsi dana beasiswa mahasiswa; Korupsi penjualan asset milik Perguruan Tinggi; Suap dalam penerimaan mahasiswa baru; Suap dalam pemilihan pejabat di internal Perguruan Tinggi; Suap atau “jual beli” nilai; Suap terkait akreditasi (Program Studi atau Perguruan Tinggi); Korupsi dana SPP mahasiwa; dan Gratifikasi mahasiswa kepada Dosen.

Sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan ada empat faktor penyebab permasalahan dalam pengelolaan anggaran pendidikan termasuk yang terjadi di Perguruan Tinggi, yaitu lemahnya pengendalian internal, lemahnya sistem administrasi (data tidak andal), adanya kekosongan pengawasan, dan lemahnya pengawasan publik atau sosial. Dimana keempat faktor ini berkontribusi dalam potensi terjadi korupsi di Perguruan Tinggi.

 

Dampak korupsi di sektor pendidikan tidak hanya pada penghabisan atau merugikan uang negara, namun lebih luas dari pada itu, korupsi di sektor pendidikan dalam hal ini termasuk Perguruan Tinggi akan merusak kredibilitas penyelenggara pendidikan sebab korupsi terjadi sejalan dengan fungsi yang dijalankan oleh Perguruan Tinggi.

 

Tercemarnya nama baik Perguruan Tinggi karena pratek korupsi sudah selayaknya harus diperbaiki. Oleh karenanya diperlukan suatu usaha sistematis untuk mencari jalan keluar dalam memperbaiki citra Perguruan Tinggi dimata publik. Perguruan Tinggi harus dikembalikan sebagai tempat pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat yang bebas dari korupsi serta penghasil orang-orang yang berbudi luhur bukan penghasil para koruptor. Maka penting bagi civitas akademik untuk berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah tetaplah salah, termasuk Rektor bila melakukan korupsi jangan segan-segan untuk melaporkannya, hal ini dilakukan demi menyelamatkan perguruan tinggi dari korupsi.