Menerawang Iklim Indonesia; Reformulasi Strategi Kesehatan Masa Depan
Peningkatan konsentrasi perubahan iklim global tak dapat dinafikkan memiliki keterkaitan erat dalam mempengaruhi presentase variabilitas epidemiologi penyakit dalam segala vektor ; yakni (vector-borne disease), air (water-borne disease), dan udara (air-borne disease). Peningkatan tersebut dewasa ini di dominasi oleh perbuatan aktivitas manusia itu sendiri. Grafik efek dari gas rumah kaca yang meningkat signifikan dapat dipastikan menjadi hal yang memicu sebab akibat dari kemunculan peningkatan suhu, labilitas pola curah hujan, peningkatan level permukaan laut serta frekuensi dan intensitas cuaca meningkat secara ekstrim. Memandang hal ini World Health Organization (WHO) 2017 menyatakan bahwa fluktuatif indeks perubahan iklim yang tinggi akan berdampak pula pada lingkungan, topografi, kondisi geografis, dan kerentanan penduduk terkhusus pada potensi darurat medis yang akan dialami dalam kurun waktu yang terhitung singkat.
Gejolak metafora iklim yang pesat, berangkat dari banyaknya tindakan manusia yang tidak mencintai lingkungan. Hal ini didasarkan dalam data JAMA yang rilis tahun 2016, bahwa 97% perubahan iklim diakibatkan oleh ulah manusia dan dijabarkan dalam laman time tahun 2014 bahwa keadaan darurat medis akibat efek rumah kaca, akan tidak terhindarkan.
Derasnya singgungan antar sektor yang ditimbulkan dari perubahan iklim, selain dinilik dari manusia sebagai yang mendominasi pelaku dari kausalitas fenomena tersebut, juga ternyata diperoleh potensi yang ditimbulkan dari tingkat pembangunan sosial ekonomi, kemampuan beradaptasi dan perbedaan lokasi geografis.
Survey dan interpretasi yang disandang Indonesia sebagai pemilik sektor pertanian dan pesisir yang terbilang cukup banyak, tentu akan mengkhawatirkan jika dalam 2030 akan mengalami darurat medis sesuai dari hasil pemaparan lembaga kesehatan PBB. Hal ini berdasarkan data, WHO tentang telaah kesehatan Indonesia yakni tahun 2000 hingga 2030 akan memuat risiko kesehatan yang berkepanjangan dikarenakan peningkatan suhu, intesitas hujan yang tinggi dan kekeringan akan membuka peluang bagi daerah baru endemik penyakit yang juga akan saling mengontaminasi dari penurunan tingkat imunitas tubuh akibat pola iklim yang tidak stabil, krisis ketersediaan air bersih, mewabahnya infeksi penyakit akibat diare yang muncul pascabanjir dan degradasi pangan yang meningkat sehingga menaikkan angka gizi buruk.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan