RAKYAT.NEWS, JAKARTA – Sejumlah pemuka agama lintas iman menegaskan bahwa satu-satunya jalan untuk melepaskan Pekerja Rumah Tangga (PRT) terhadap tindak kekerasan adalah dengan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT).

Secara konstitusional, Undang-Undang Dasar 1945 memandatkan pemenuhan hak negara Indonesia atas penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-haknya, apa pun profesinya. Seluruh regulasi dan instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) secara internasional dan nasional ini memperkaya atau saling mempengaruhi perspektif agama dan kemanusiaan. Keduanya menjadi satu paket bagi para PRT.

“Undang-undang ini diperlukan agar semua tahu bagaimana memperlakukan PRT, bagaimana memperlakukan keadilan bagi PRT, karena PRT adalah orang-orang yang dilemahkan. Keluarga adalah wakil Tuhan untuk memberikan keadilan dan memperjuangkan para PRT di rumah. Semoga wakil rakyat di DPR mengesahkan ini,” kata Alisa Wahid dalam keterangan resmi, Selasa (19/3/2024).

“Kami di persekutuan gereja-gereja, kami ikut tersakiti di sini jika para PRT tidak mendapatkan haknya, mengalami kekerasan atau ketika mereka hidup terlunta atau mengalami hal yang tak wajar. Ini namanya merobek hati kami, karena martabat PRT harus dihargai,” ujar Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Gomar Gultom.

Gomar juga mengimbau kepada seluruh warga gereja untuk memasukkan keadilan bagi PRT ke gereja-gereja di Indonesia dan mendorong parlemen sesegera mungkin untuk membahas RUU PPRT menjadi Undang-undang.

Sampai saat ini, belum ada tindaklanjut dari DPR RI terhadap RUU PPRT setelah menjadi RUU Inisiatif DPR dalam rapat paripurna 21 Maret 2023 lalu.

Sekitar 200 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Sipil untuk RUU PPRT telah menggelar berbagai aksi dan audiensi dengan anggota DPR RI terkait tindaklanjut dari rapat paripurna tersebut.

PRT, telah melangsungkan aksi setiap hari di hadapan DPR RI untuk mendesak pengesahan RUU PPRT. Semua partai yang ada di parlemen turut merespons hal tersebut. Namun, hal berbeda nampak dari Puan Maharani selaku Ketua DPR RI yang sampai hari ini masih bergeming.

Masa waktu untuk memperjuangkan RUU PPRT ini tersisa empat bulan. Jika masa tersebut habis dan belum juga diserahkan ke Badan Musyawarah (Bamus) DPR RI untuk dibahas dalam rapat paripurna, maka semua proses akan dimulai kembali dari nol.

Jalan panjang para PRT dalam memperjuangkan RUU PPRT telah memakan waktu yang sangat lama, yakni 20 tahun.

Melihat dari waktu yang hanya tersisa empat bulan saja, maka Koalisi Sipil untuk RUU PPRT akan menjalankan serangkaian aksi pada sejumlah kota di Indonesia sebagai bentuk kemarahan kepada Puan Maharani yang tak juga bergerak.

Dukungan untuk mendesak Puan Maharani ini juga hadir dari para pemuka lintas iman, yang menyadari bahwa kekerasan terhadap PRT merupakan masalah kemanusiaan yang tak boleh dibiarkan.

Sejumlah ancaman akan terus berlanjut kepada para PRT, termasuk tindak kekerasan yang akan semakin memakan banyak korban jika DPR RI tak kunjung mengesahkan RUU PPRT.

Sejumlah pemuka agama lintas iman, yakni Wakil Ketua PBNU, Alisa Wahid; Sekretaris Komisi KPP KWI, Pater Martin Jemarut Pr; Ketua Umum PGI, Pendeta Gomar Gultom juga akan hadir dalam agenda doa tadarusan di depan DPR pada 21 Maret 2024 mendatang.