Sementara tubuh pendek menunjukkan kalau orang itu kekurangan gizi kronis, artinya anak itu bisa saja makan yang seperti biasanya. Namun pendek karena kekurangan gizi yang kronis (jangka panjang), faktor yang memengaruhi misalnya saat hamil ibunya atau saat ibu masih remaja bertubuh kurus, otomatis di dalam kandungan juga anak tidak terpenuhi kebutuhan gizinya sehingga anak tersebut pendek.

Menurut Prof. Veni, sinergitas dalam upaya menurunkan angka stunting dilakukan dengan melihat daerah mana saja yang terburuk, maka program dimulai dari sana agar semuanya tepat sasaran.

“Pembangunan itu diarahkan ke daerah terpencil. Tidak seperti dulu, yang penting anggarannya habis, walaupun desa tersebut tidak terbangun. Sekarang ini justru yang dipikirkan bagaimana memanfaatkan dana terbatas ini dialokasikan ke daerah-daerah prioritas,” katanya.

Masalah lain yang biasanya terjadi di kalangan masyarakat, yakni masih ada orangtua yang merasa malu apabila ada yang mengatakan anaknya stunting. Mereka menganggap bahwa stunting adalah aib. Padahal menurut Prof. Veni, pola hidup saat pra kehamilan hingga masa tumbuh anak yang perlu diperhatikan gizinya.

“Kurang terbuka dan sedikitnya pemahaman tentang stunting masih menjadi hal tabu bagi masyarakat, sehingga mereka menganggap bahwa Stunting adalah sebuah kesalahan yang perlu untuk disembunyikan,” keluh Prof. Veni.

Mengatasi masalah ini, Puskesmas Pacellekang justru mengubah sebutan Stunting dengan terobosan kata “Es Tinting”. Hal ini untuk menghindari munculnya stigma buruk di kalangan masyarakat dan malu untuk kembali datang ke posyandu. Uniknya, istilah ini bahkan telah diterapkan di tingkat kecamatan di Pattalassang saat para kader melakukan penimbangan dan mengidentifikasi anak Stunting.

“Agar warga menganggap yang disebut adalah nama es, padahal itu istilah untuk balita atau anak stunting,” ujar Kepala Puskesmas Pacellekang, Gandi Iswanto.