Baca Juga : DPN Peradi Hadirkan Fahri Bachmid Sebagai Ahli di MK

Fahri Bachmid yang merupakan Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi & Pemerintahan (PaKem) Fakultas Hukum UMI ini, menguraikan bahwa terkait Putusan MK Nomor 91/PUU-XX/2022, secara teoritik tergolong dalam Model Putusan Yang Pemberlakuannya Ditunda (limited constitutional). Di dalam khasanah peradilan konstitusi dikenal adanya konsep “limited constitustional” yang berarti menoleransi berlakunya aturan yang sebenarnya bertentangan dengan konstitusi hingga batas waktu tertentu. 

Berbeda dengan model putusan “conditionally constitutional” ataupun model putusan “conditionally unconstitutional” yang memutuskan aturan yang pada saat diputuskan dinyatakan tidak bertentangan atau bertentangan dengan konstitusi.

Namun nantinya akan dapat bertentangan dengan konstitusi karena dilanggarnya syarat-syarat yang diputuskan peradilan konstitusi, maka model putusan limeted constitustional bertujuan untuk memberi ruang transisi aturan yang bertentangan dengan konstitusi untuk tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai waktu tertentu karena disadarkan atas pertimbangan kemanfaatan.

Menurutnya, dalam putusan MK a quo ini tergolong dalam paradigma putusan yang bercorak Model Putusan Yang Pemberlakuannya Ditunda (limited constitutional), artinya MK dalam Putusan Nomor 91/PUU-XX/2022, dengan amarnya adalah mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian; dan menyatakan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4288) yang menyatakan, “Pimpinan Organisasi Advokat tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat Pusat mupun di tingkat daerah.

Hal itu, kata Fahri Bachmid, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Akan tetapi sepanjang berkaitan dengan kedudukan Pimpinan Organisasi Advokat yang sedang memegang jabatan yang sama lebih dari dua (2) periode sebelum putusan MK ini dapat ditolerir, dengan argumentasi MK bahwa di mana secara faktual sangat mungkin terdapat pimpinan organisasi advokat yang sedang memegang jabatan yang sama lebih dari dua periode sebelum putusan a quo.

“Maka untuk alasan kepastian hukum dan tidak menimbulkan persoalan dalam organisasi advokat, pimpinan organisasi advokat yang bersangkutan tetap menjalankan tugasnya hingga berakhir masa jabatannya dan selanjutnya pengisian masa jabatan pimpinan organisasi advokat disesuaikan dengan pemaknaan baru terhadap norma Pasal 28 ayat (3) UU 18/2003 sebagaimana putusan a quo,” tutupnya.