KRISIS EKONOMI GLOBAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP KETAHANAN EKONOMI INDONESIA

Oleh : Edy Haryono, Kasi PPAI Kanwil DJPb Prov. Sulsel

Belum usai dunia dilanda wabah covid-19 meski secara statistik sudah cenderung terjadi penurunan, yang membuat perekonomian dunia dilanda krisis selama kurang lebih tiga tahun yang dibarengi dengan perang dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat dan kini krisis ekonomi kembali terjadi yang diakibatkan kondisi geopolitik yaitu perang antara Rusia dan Ukraina serta pengetatan kebijakan oleh sejumlah negara. Perang Rusia dan Ukraina memberikan dampak yang besar khususnya bagi perdagangan global.

Dilihat dari kebutuhan komoditas dari kedua negara tersebut, maka dengan terjadi perang tentu akan sangat berpengaruh terhadap pasokan beberapa komoditas yang dimiliki kedua negara itu, sehingga menyebabkan harga-harga melambung tinggi yang memicu terjadinya inflasi. 

Dengan kondisi perekonomian dunia yang tidak menentu akibat kenaikan harga pangan dan energi, Bank Dunia atau World Bank pun memperingatkan bahwa ekonomi dunia akan mengalami resesi pada 2023.

Dimana saat ini bank-bank sentral di seluruh dunia berlomba menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi yang tinggi yang diperkirakan akan terus berlanjut hingga tahun depan.

Namun tindakan yang telah dilakukan dan kebijakan lainnya belum bisa dipastikan juga akan mengembalikan kondisi inflasi kepada situasi sebelum terjadinya pandemi covid-19.

Bank dunia juga mengingatkan bahwa kenaikan suku bunga yang semakin tinggi dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi global pada 2023 yang diperkirakan hanya berkisar 0,5%.

Jika inflasi tidak juga turun maka kekuatiran yang dapat terjadi dan lebih buruk dari resesi adalah terjadinya stagflasi. Saat stagflasi terjadi inflasi masih tetap tinggi dan belum menunjukkan penurunan. Hal ini beresiko akan tingkat pengangguran menjadi naik.

Situasi dan kondisi yang terjadi pada akhirnya berimbas juga terhadap Indonesia. Pertanyaannya adalah apa dan bagaimana pemerintah mengambil kebijakan dan strategi dalam menghadapi situasi tersebut dari segala kemungkinan yang terjadi.

Kenaikan harga komoditas minyak dunia adalah salah satu alasan pemerintah akhirnya mengambil keputusan yang berat, melakukan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per 3 September 2022.

Kenaikan harga BBM subsidi di tengah pelemahan harga minyak global merupakan keputusan yang perlu diambil oleh pemerintah.

Dengan menaikkan harga BBM saat ini dapat mengurangi potensi pertambahan beban subsidi energi APBN di sisa waktu tahun anggaran 2022 dan mengurangi kemungkinan berlanjutnya peningkatan beban subsidi energi pada APBN 2023. Kebijakan menaikkan harga BBM juga merupakan salah satu upaya pemerintah agar subsidi tepat sasaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) UU No. 30/2007 tentang Energi, telah diamanatkan bahwa penyediaan dana subsidi hanya untuk kelompok masyarakat tidak mampu, namun pada kenyataannya lebih dari 70% subsidi BBM justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil-mobil pribadi.

Untuk meringankan dampak kenaikan harga BBM tahun 2022, pemerintah memberikan bantuan sosial sebagai bantalan bagi masyarakat yang terimbas kenaikan harga BBM berupa Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Bantuan Subsidi Upah (BSU).

BLT BBM dianggarkan sebesar Rp 12,4 triliun yang akan diberikan kepada 20,65 juta keluarga kurang mampu sebesar Rp150 ribu selama 4 bulan.

Sedangkan BSU dianggarkan sebesar Rp 9,6 triliun dengan sasaran 16 juta pekerja yang bergaji maksimal Rp3,5 juta per bulan yang diberikan sebesar Rp 600 ribu selama sebulan.

Selain itu juga disiapkan dukungan Pemda sebesar 2% dari DTU (DAU dan DBH) sebesar Rp2,17 triliun dalam bentuk program perlinsos dan penciptaan lapangan kerja serta subsidi sektor transportasi antara lain ojek angkutan umum, nelayan, dan UMKM.

Upaya pemerintah dengan mengoptimalkan peran dan fungsi APBN sebagai shock absorber adalah untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional dan melindungi masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah terhadap meningkatnya laju inflasi yang persisten.

Fungsi APBN sebagai shock absorber dilakukan melalui optimalisasi dampak positif pendapatan negara dari kenaikan harga komoditas, terutama penerimaan yang berasal dari sumber daya alam dengan menambah anggaran khususnya untuk alokasi subsidi dan kompensasi energi, serta perlindungan sosial.

Langkah kebijakan tersebut tetap memperhatikan kesehatan dan kesinambungan fiskal yang selanjutnya dituangkan pada Perpres Nomor 98 Tahun 2022.

Berkaitan dengan kebijakan yang telah dilakukan pemerintah Menkeu Sri Mulyani mengemukakan, kebijakan ini di satu sisi sedikit melepaskan tekanan pada anggaran subsidi, namun di sisi lain meningkatkan inflasi administered price.

Pemerintah sendiri telah membuat prediksi, inflasi berpotensi naik sebesar 1,8 persen sebagai dampak dari pengalihan subsidi harga BBM. 

Selanjutnya bagaimana peran APBN dalam menghadapi situasi ekonomi pada tahun 2023. APBN merupakan salah satu instrumen fiskal yang dapat dipakai  pemerintah untuk menjalankan fungsi-fungsi antara lain fungsi perencanaan, alokasi, distribusi dan stabilisasi, maka melalui APBN pemerintah menjalankan berbagai program yang dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi.

Proses penyusunan dan pembahasan RAPBN Tahun 2023 dibayangi oleh faktor ketidakpastian global yang menuntut Pemerintah untuk mengerahkan upaya terbaik dalam merumuskan dan meramu berbagai alternatif kebijakan.

Di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai, perekonomian dunia kembali dihadapkan dengan sejumlah tantangan yang tidak kalah besar, antara lain adanya potensi stagflasi yang disebabkan oleh lonjakan inflasi global akibat supply disruption dan perlambatan perekonomian sebagai dampak tensi geopolitik.

Faktor lain adalah potensi krisis utang global akibat meningkatnya cost of fund dengan adanya kenaikan suku bunga yang berpotensi mengakibatkan arus modal keluar dari negara berkembang. 

Dihadapkan pada ketidakpastian global tersebut, Kebijakan Fiskal dan RAPBN tahun 2023 mengusung tema: “Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan”.

Berdasarkan tema tersebut, maka APBN akan terus dioptimalkan menjalankan fungsinya dalam mendukung produktivitas dan penguatan sosial-ekonomi masyarakat dengan difokuskan pada lima berikut: a) penguatan kualitas SDM yang terampil, produktif, dan berdaya saing melalui peningkatan kualitas pendidikan dan sistem kesehatan serta akselerasi reformasi sistem perlindungan sosial; b) melanjutkan pembangunan infrastruktur prioritas, khususnya pembangunan infrastruktur pendukung transformasi ekonomi yaitu di bidang energi, pangan, konektivitas, dan transportasi; c) pemantapan efektivitas implementasi reformasi birokrasi; d) pelaksanaan revitalisasi industri; dan e) pembangunan dan pengembangan ekonomi hijau.

Selain itu guna mendorong efektivitas dalam pelaksanaan kebijakan fiskal tahun 2023, tetap dibutuhkan keberlanjutan reformasi struktural. 

APBN tahun 2023 diarahkan untuk meningkatkan produktivitas nasional dan menjaga keberlanjutan keuangan negara di tengah ketidakpastian perekonomian global, dengan tetap mengoptimalkan peran APBN sebagai instrumen untuk melindungi masyarakat.

Berbagai upaya dan strategi dilakukan Pemerintah dalam rangka peningkatan produktivitas melalui akselerasi transformasi ekonomi, yang meliputi:

(1) normalisasi aktivitas masyarakat seiring perbaikan situasi pandemi; (2) peningkatan daya tarik investasi termasuk hilirisasi manufaktur, ekonomi digital dan ekonomi hijau; dan (3) mengembalikan peran sektor manufaktur sebagai sumber pertumbuhan ekonomi melalui revitalisasi industri.

Mengacu pada kerangka ekonomi makro tahun 2023, Pemerintah menyusun strategi kebijakan fiskal dengan melakukan reformasi struktural dalam rangka mendorong transformasi ekonomi. Untuk peningkatan produktivitas nasional, dilakukan strategi prioritisasi anggaran dan reformasi fiskal yang holistik.

Transformasi ekonomi sangat penting dilakukan agar Indonesia dapat keluar dari jebakan kelas menengah (middle-income trap). Upaya ini diharapkan akan memicu geliat investasi serta daya saing nasional di pasar global.

Untuk menjaga keberlanjutan fiskal jangka menengah dan jangka panjang, maka diperlukan kebijakan fiskal tahun 2023 yang ekspansif, terarah, dan terukur dengan defisit anggaran pada kisaran 2,85 persen PDB.

Sejalan dengan ditempuhnya kebijakan tersebut, maka kebijakan pembiayaan anggaran akan diarahkan untuk mendorong efektivitas pembiayaan dengan melakukan pengelolaan utang secara prudent dan sustainable serta mampu mengendalikan tingkat risiko utang pada level aman dan kredibel dengan terus mendukung pendalaman pasar keuangan (financial deepening). 

Dalam menghadapi situasi global yang tidak menentu dimasa datang memang diperlukan semua elemen bangsa untuk bersinergi menghadapi tantangan demi menjaga stabilitas bangsa dari ancaman baik dari sisi politik ekonomi dan ancaman lainnya.

Dari sisi pemerintah sinergi pemerintah pusat dan daerah diperlukan guna melaksanakan program-program yang dapat dilakukan guna mengurangi beban masyarakat masing-masing daerah.

Peran pemerintah provinsi juga sangat diperlukan dalam memperkuat sinergi dan kerjasama antardaerah diwilayahnya dalam hal pasokan akan kebutuhan dan ketersediaan pangan dan komoditas.