𝗕𝗮𝗹𝗶𝗵𝗼: 𝗠𝘂𝗹𝗮𝗶 𝗕𝗲𝗿𝗸𝗶𝗯𝗮𝗿 𝗦𝗮𝗮𝘁 𝗥𝗮𝗸𝘆𝗮𝘁 𝗕𝗲𝗿𝗺𝘂𝗿𝗮𝗺 𝗗𝘂𝗿𝗷𝗮!

𝑩𝒚 𝑺𝒖𝒇 𝑲𝒂𝒔𝒎𝒂𝒏

Masa pandemi belum usai, warga sudah disuguhkan maraknya baliho super gede. Mulai papan reklame jumbo, poster jangkung, spanduk kolosal, banner tambun, advertensi superior, serta billboard megah bergambar wajah politisi di sejumlah jalan raya berbagai daerah di Tanah Air.
Pernak-pernik baliho raksasa itu bisa dipastikan bernuansa Pilpres 2024, rupanya sang politikus mulai bergerilya secara terang-terangan (hard selling) sebagai ajang ‘promosi diri’ lebih dini. Mereka berkompetisi bagai ombak berkejaran meraih pantai sambil merayu hati rakyat, seolah Pilpres serentak dilaksanakan bulan depan.

Slogan-slogan kampanyenya membawa tema “kesejahteraan” bertabur iming-iming kesentosaan, kendati kidung-kidungnya tidak beda nyanyian balada sebelumnya “lagu lama kaset baru”.

Lusinan janji-janji anggun menggemuruh di setiap baliho melambai, seperti janji-janji kemanusiaan, janji perubahan, janji pemulihan kesehatan, dll.
Pendeknya, aneka janji manis nan rayuan umbak-umbai mem fill upi baliho kapital mereka, sebagai ajian pemikat sukma dan penggoda selera hati nurani.

Baliho politisi yang menghiasi se-Ibu Pertiwi itu, tentu menghambur-hamburkan uang yang tidak sedikit. Adalah para elite sudah telanjang mempertontonkan kezaliman di depan ratusan juta rakyat yang kini ambruk tak berdaya.

Serpihan-serpihan penderitaan, getaran-getaran ketakutan semakin membuncah pikiran rakyat, meratapi matinya rasa kepedulian sosial. Tingkat kemelaratan melonjak kian pesat.

Kesejahteraan hidup hanya sebatas utopia. Jutaan warga miskin mengalami kesulitan mencari sesuap nasi. Mereka tak punya apa-apa lagi ‘larat segala larat’, hanya rintihan dan tulang belulang yang kian lemas melekat dibugil tak terkemas. Kecemasan dan ketakutan selalu membayang-bayangi urat-urat harinya, bagai merasakan tujuh puluh jenis bencana alam.

Seandainya para elite politik sudi menyedekahkan sisa gajinya beli vitamin buat kaum proletariat yang merana, mereka pasti meraih amal jariyah secara berkesinambungan, kehidupan yang penuh keberkahan, bahkan menghapus amarah Tuhan.

Tetapi mereka dan penguasa justeru semakin larut berpesta pora di depan elusif rakyat. Wong cilik semakin meratapi tragedi di tengah wajah kuasa yang terlihat bengis, karena egoisme kekuasaan. Menjadi embrio kebencian tumbuh di rahim-rahim hawa pengkhianatan. Sungguh, adegan yang amat menyedihkan!

Duh rakyat jelata masih tercekam oleh Covid-19, ini kok justeru sejumlah petinggi partai politik sudah sibuk tebar pesona untuk menaikkan tren positif. Mereka berusaha mengatrol popularitas dan mendulang elektoral nan elektabilitasnya.

Sosok rupa menawan yang terpampang di baliho raksasa bertarif milyaran rupiah itu, sepertinya tak memancarkan aura simpati lagi. Apa lacur, kampanye di masa Pandemi ini tentu kurang elok, fragmen kurang etis, serta ketoprak kemubaziran yang dipertunjukkan kaum elite politik.

Sungguh kasihan rakyat yang lemah lunglai di bawah penjajahan sang elite politik berafiliasi Punggawa Balairung, rajin menyapa saat memiliki hajatan besar.
Temmalewe’-lewe’ Bawang Coki Madokoe, Engkami Nacaning”
Rakyat hanya dibutuhkan saat Pemilu.

Mereka terus diberi umpan (harapan) agar ikut meramaikan pesta demokrasi. Mafhum, Pemilu seperti memasuki pasar Pabaeng baeng, di dalamnya ada penjual, pembeli dan barang konsumsi. Dalam konteks Pemilu, penjual adalah pemilih, pembelinya para elite partai, sementara barang konsumsinya ialah suara pemilih.

Suara pemilih diperebutkan, sebab bagi elite partai “suara rakyat adalah suara Tuhan”. Namun, aneh bin ajaib ‘kenapa suara Tuhan itu Engkau beli’…!!!
Baliho sebagai media penyampai pesan, tentu baliho spektakuler itu sama saja dengan orang berbicara melalui loudspeaker.

Semakin besar & tinggi pemasangan baliho, kian terasa “suara” yang digemakan semakin kuat. Demikian hasrat para elite politik kian berlomba-lomba saling pamer keunggulan dan unjuk kelebihan. Tak lupa senyum pepsodent menghiasi layar lebarnya isyarat ibah mengharap dukungan. Sejak dini, mereka mulai membangun ‘pencitraan pribadi’, berupaya mendongkrak figur partai serta membangun sketsa positif di mata publik.

Wahai Sang Saudagar Politisi!
Urungkanlah dulu kampanye di tengah masa pandemi Covid-19 ini. Hentikanlah baliho-baliho mahardikamu yang sudah menjamur sana sini.

Soalnya, jasamu terhadap bangsa belum pernah ditemukan masyarakat, performamu masih mengecewakan (kinerja abal-abal), prestasimu pun tak terdokumentasikan oleh zaman millenial. Kecuali keberhasilanmu yang menonjol hanya 2 (dua) prestasi terekam melalui kamera digital negeri. Pertama, tampil mewah di tengah rakyat sedang kelaparan, kedua prestasi tersohormu mampu “mematikan microphone” saat mendengar aspirasi rakyat.

Tanam dulu-lah benih-benih kebaikan jika menginginkan buah “simpati” dan “potential voters” dukungan rakyat, sentuh dan cium jiwanya biar hatinya tak membeku. Jangan hanya muncul menjelang pesta demokrasi. Itulah yang sering Engkau manfaatkan, engkau berliur menebar nuraga dan welas asih melalui baliho jumbomu, bermaksud membius kaum papa dan menyihir golongan kecil.

Bila Anda tidak sudi membantu rakyat yang kini mengalami serba kekurangan, sekalipun Engkau tancapkan jutaan pilar-pilar baliho mercusuar (dari Sabang sampai Merauke). Kadarnya tak lebih onak & borok, hanya mengganggu indahnya pemandangan alam bumi Pertiwi, vandalisme!

Sangat tidak etis apabila dalam kondisi sulit seperti ini, Anda justeru mengambil mementum untuk kepentingan politikmu. Tidak sedikit masyarakat mulai muak melihat konten balihomu. Mendingan pasang baliho Upin Ipin atau Doraemon, biar anak-anak kecil mereka pada senang penuh kegirangan, daripada sosok-sosok ala ‘Janci Mutaroe’ yang rakus jabatan berhaluan dosa mau jadi penguasa Indonesia. Nehi…nehi…!!!
Pabboté Loppo,
Inge’ Bukku’,
Malampe’ Lillah…

Bertebarannya papan reklamemu di rayon Nusantara, kini sudah terbaca sekoloni masyarakat Indonesia, tak lebih engkau hanyalah haus kekuasan.

Pantesan Covid belum kelar, ternyata Engkau hanya fokus ke pencitraan Pilpres 2024, bukan titik pusatnya untuk membasmi korona. Katanya bela rakyat, tapi rupanya Engkau halalkan semua cara tuk mempopulerkan diri.

Mestinya tetek bengek baliho politik di masa pandemi diturunkan dulu, karena saat ini belum masa kampanye. Coba pasang baliho HRS, pasti langsung diturunkan TNI beserta kepungan mobil pansernya. Padahal menurunkan baliho nggak perlu sampai kerahkan se-brigade tentara dan kendaraan taktis baja. Malu kita dilihat negara-negara lain.

Lantas, kapan pihak berwajib menurunkan baliho-baliho raksasa elite politisi yang marak berkibar…???

Makassar, 22 September 2021