“Ketika Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra,S.H.,M.Sc mengajukan permohonan ini ke MA, kita secara sadar harus mahfum bahwa masalah AD/ART Partai Politik secara hukum peraturan perundang-undangan kita luput menjangkau serta mengatur soal masalah ini,” katanya.

Sebab secara hipotetis, Fahri mengatakan bagaimana bila AD/ART parpol bertentangan dengan misi dan tujuan parpol seperti yang diatur dalam perundang-undangan partai politik,? karena UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik hanya mengharuskan bahwa AD/ART sebuah parpol memuat visi dan misi, azas dan ciri, nama, lambang, tanda gambar, kepengurusan dan mekanisme pemberhentian anggota.

“Dan tidak ada satupun perintah yang bersifat imperatif dan kewajiban bagi parpol agar AD/ART mereka sejalan dengan tujuan parpol yang dimandatkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diatasnya,” tandasnya.

Sedangkan disisi lain AD/ART adalah peraturan dasar “hukum “ yang mengatur secara internal parpol. Dijelaskan Fahri, anggota parpol bisa diberhentikan karena melanggar AD/ART partai politik. Dengan demikian, lanjut dia, jika corak dan karaker kepemimpinan parpol yang despotisme, oligarkis, elitisme, serta feodel maka tentu secara hukum sudah tidak sejalan dengan tujuan asasi parpol untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan pancasila dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat sesuai perintah peraturan perundang-undangan.

“Bahwa memang jika dilihat secara lebih seksama dan mendalam, terkait ketiadaan aturan hukum “legal vacuum” yang dapat menjangkau fenomena hukum tersebut di internal parpol, jika suatu AD/ART melanggar konstitusi atau UU diatasnya, maka yang dibutuhkan adalah suatu langkah terobosan “breakthrough” secara hukum sema-mata untuk tercipta tertib norma hukum secara berjenjang,” tukas Fahri Bachmid.

Fahri mengatakan, proses pengajuan judicial review AD/ART Demokrat ke MA tersebut secara yuridis akan berimplikasi menjadi terobosan hukum “rule breaking” penting dan signifikan dalam tata hukum nasional oleh MA RI. Dan secara teoritik hal tersebut sangat dibolehkan kalau bukan dikatakan dianjurkan. Artinya, kata Fahri, ada implikasi yang ditimbulkan dengan adanya kekosongan hukum terhadap hal-hal atau keadaan yang tidak atau belum diatur itu dapat terjadi ketidakpastian hukum itu sendiri “rechtsonzekerheid” atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat, yang lebih jauh lagi akan berakibat kepada kekacauan hukum “rechtsverwarring” itulah urgensi dan pentingnya dari “lagal action” ini sesungguhnya.