JAKARTA – Di Belanda, seseorang yang lulus dari universitas ketika ingin menjadi seorang hakim, harus sekolah lagi selama 7 tahun. Jika ingin menjadi seorang advokat, minimal harus sekolah 2 tahun.

“Di Indonesia jenjang karier ini tidak jelas. Ada Kapolri setelah pensiun dapat kartu advokat, ada juga mantan Jaksa Agung punya kartu sebagai advokat,” ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej pada kegiatan peluncuran pelatihan arah pendidikan hukum berkelanjutan di organisasi advokat, di Jakarta, Jumat.

Baca Juga : Sidang Duplik Selesai, Jurnalis Asrul di Palopo Menanti Keadilan Hakim

Menurutnya, hal itu akan menjadi sebuah masalah psikologis tersendiri ketika mantan Jaksa Agung tersebut bertemu dengan jaksa yang baru di sebuah pengadilan dalam suatu perkara.

“Jadi, mohon maaf, sepertinya menjadi advokat di Indonesia ini sangat mudah, padahal kita tahu bahwa advokat profesi yang mulia,” ujarnya.

Ia mengatakan, sekitar 10 atau 12 tahun lalu, Prof Omar Sharif pernah melakukan sebuah penelitian yang mengangkat tentang pola rekrutmen dan jenjang karier aparat penegak hukum.

Responden penilitian tersebut ialah para polisi, advokat, jaksa dan hakim. Dia menemukan rekrutmen masih menjadi masalah tersendiri.

Untuk menjadi jaksa, hakim dan polisi masing-masing sudah ada sekolah melalui pendidikan dan latihan. Namun, untuk menjadi seorang advokat, boleh dikatakan seorang lulusan baru yang menyandang gelar sarjana hukum, cukup mengikuti pendidikan beberapa minggu atau beberapa bulan saja maka sudah bisa menjadi seorang advokat.

“Saya kira seharusnya tidak semudah itu,” kata Prof Edwar Omar Sharif.

Dalam penelitiannya, ia membandingkan antara pendidikan aparat penegak hukum di Indonesia dengan Belanda.

Edwar Omar mengatakan, menjadi seorang advokat di Indonesia terlalu mudah, padahal pengacara adalah profesi suci dan mulia.