Selain itu, media sosial memungkinkan interaksi dua arah yang cepat dan langsung. Individu dapat berkomunikasi dengan aktivis, pakar, dan sesama pengguna, mendapatkan umpan balik, dukungan, dan saran. Komunitas digital ini sering kali menjadi sumber dukungan emosional dan praktis yang penting, membantu individu merasa kurang sendirian dalam perjuangan mereka. Dengan adanya fitur-fitur seperti komentar, pesan langsung, dan grup diskusi, pengguna dapat membentuk jaringan dukungan yang kuat dan saling memberi kekuatan. “Menurut Nancy Fraser, media sosial menawarkan ruang publik baru di mana diskusi tentang gender dapat berlangsung secara lebih egaliter dan inklusif” (Fraser, 1990).

Mobilisasi dan organisasi kampanye kesetaraan gender juga menjadi lebih mudah berkat media sosial. Dengan alat seperti event pages, petisi online, dan donasi digital, aktivis dapat mengorganisir protes, menggalang dana, dan menyebarkan informasi dengan cepat dan efisien. Gerakan seperti #MeToo dan #BlackLivesMatter menunjukkan bagaimana media sosial dapat digunakan untuk menggerakkan jutaan orang dan mendorong perubahan sosial yang signifikan. Kampanye ini sering kali dimulai oleh individu atau kelompok kecil, tetapi dengan bantuan media sosial, pesan mereka dapat menyebar dengan cepat dan mendapatkan dukungan luas. “Sherry Turkle menyoroti bahwa internet memungkinkan ‘sosiabilitas terdistribusi’ yang mengubah cara orang terlibat dalam aktivisme dan komunitas, termasuk isu-isu gender” (Turkle, 2011).

Ekspresi gender di dunia digital telah mengubah cara kita berkomunikasi tentang identitas dan kesetaraan gender. Platform seperti TikTok dan Instagram memungkinkan individu untuk menyuarakan harapan dan pikiran mereka dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin dilakukan. Media sosial tidak hanya memberikan ruang bagi ekspresi diri, tetapi juga memfasilitasi dukungan komunitas, visibilitas, dan mobilisasi untuk perubahan sosial. Dengan terus berkembangnya teknologi dan media sosial, peran digital dalam membuka dialog tentang gender akan semakin penting, membantu menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan adil. “Judith Butler berargumen bahwa performativitas gender dapat ditemukan dan dieksplorasi secara lebih bebas di platform digital, di mana individu dapat lebih mudah menantang dan mengubah norma-norma gender tradisional” (Butler, 1990).

Contoh Studi Kasus

Gerakan #MeToo: Gerakan #MeToo adalah contoh yang kuat dari bagaimana media sosial dapat digunakan untuk mempromosikan kesetaraan gender dan memerangi kekerasan berbasis gender. Dimulai oleh Tarana Burke pada 2006 dan dipopulerkan kembali oleh Alyssa Milano pada 2017, tagar #MeToo telah digunakan oleh jutaan orang di seluruh dunia untuk berbagi cerita tentang pelecehan dan kekerasan seksual. Platform seperti Twitter dan Instagram memainkan peran kunci dalam penyebaran gerakan ini, memberikan suara kepada korban dan mendorong percakapan global tentang kekerasan gender.