Ia juga menyarakan agar dilakukan pendekatan saintifik dalam penanganan kasus tersebut.

“Satu, saksi tidak ada. Kedua, perlu dilakukan pendekatan saintifik. bagaimana cek DNA di TKP, bagaimana sidik jari, pemeriksaan psikolog,” katanya.

Kuasa Hukum Korban, Rezky Pratiwi, mengatakan pemeriksaan korban tanpa pendampingan sangat sulit untuk mengungkap kasus.

“Beberapa hal yang menjadi catatan kami, pemeriksaan anak yang tidak didampingi orang tua atau pendamping sosial. Jadi dalam pemeriksaan hanya ada polisi dan anak. Ini sangat fatal. Akibatnya dalam Berita Acara, fakta-fakta kejadian tidak terungkap utuh, lengkap dan itu dilakukan satu kali saja tanpa bantuan dari pihak atau ahli yang bisa memudahkan anak untuk menceritakan fakta tersebut. Kemudian ibu korban hanya diminta tanda tangan setelah proses itu selesai,” ungkapnya.

Mba Tiwi juga mengatakan terkait korban yang menceritakan fakta peristiwa ke psikiatri di RS Bayangkara.

“Jadi sebenarnya pemeriksaan oleh psikiatri di RS Bayangkara, anak-anak menceritakan fakta peristiwa itu, semuanya menceritakan terjadi kekerasan seksual oleh terlapor, bahkan di P2TP2A Luwu timur, sebenarnya anak-anak mengaku bahwa terjadi kekerasan seksual oleh terlapor, akan tetapi penyidik sangat terang mengabaikan keterangan anak dalam laporan tersebut,” ungkap Tiwi.

Sebelumnya, Mabes Polri melalui Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, Brigjen. Pol. Drs. Rusdi Hartono, M.Si. menggelar konferensi pers terkait Dugaan Pemerkosaan Tiga Anak, Selasa (12/10).

“Penyidik menerima surat pengaduan dari saudari RS pada tanggal 9 Oktober 2019. Isi surat pengaduan ini, yang bersangkutan melaporkan bahwa diduga telah terjadi peristiwa pidana yaitu perbuatan cabul,” katanya.

Ia menegaskan perbuatan tindak pidana yang dilakukan seorang ayah dari tiga anak bukan laporan pemerkosaan, melainkan tindak pidana pencabulan.