Dukungan tambahan yang diberikan adalah proses penilaian kualitas aset produktif bagi debitur dengan plafon hingga Rp 5 miliar hanya berdasarkan pembayaran tepat waktu atas pokok atau bunga yang disebut sebagai pilar tunggal. Langkah ini memudahkan bank dalam memberikan kredit perumahan terutama kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

“Ini pemanfaatan dari peraturan OJK Nomor 40 Tahun 2019, maka pemberian untuk debitur sampai Rp 5 miliar dapat hanya menggunakan satu pilar saja,” ucapnya.

OJK juga telah menetapkan pengaturan bobot risiko kredit yang lebih detail melalui Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) No.24/SEOJK.03/2021. Semakin rendah rasio Loan To Value (LTV), maka bobot Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) kredit juga semakin kecil, sehingga membantu lembaga keuangan menjadi lebih efisien dalam memberikan kredit properti.

“Kredit untuk properti rumah tinggal dapat dikenakan bobot risiko ATMR kredit yang rendah dibandingkan kredit lainnya, antara lain kredit kepada korporasi. Dalam ketentuan itu, bobot risiko ditetapkan secara granular dengan bobot rendah sebesar 20% berdasarkan loan to value. Dengan begitu perbankan memiliki ruang permodalan yang lebih besar untuk menyalurkan KPR selanjutnya,” tegas Mahendra.

Selain itu, OJK telah mencabut larangan pemberian kredit untuk pengadaan dan pengolahan tanah sejak 1 Januari 2023 dalam mendukung pendanaan bagi pengembang perumahan.

Hal ini memberikan fleksibilitas kepada pengembang untuk mendapatkan pembiayaan dari bank untuk melakukan pengadaan atau pengolahan tanah yang sebelumnya dibatasi.

“Dengan berbagai dukungan kebijakan itu, maka kami optimis program pemerintah untuk menyediakan 3 juta hunian bagi masyarakat pendapatan rendah dapat terlaksana dengan baik,” tutup Mahendra.

YouTube player