BALI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pertama pengujian Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) sebagaimana termuat dalam Pasal 175 angka 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker), Kamis (27/01/2022).

Sidang perkara Nomor 10/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Victor Santoso Tandiasa (Pemohon I), Muhammad Saleh (Pemohon II), Nur Rizqi Khafifah (Pemohon III) yang berturut-turut berprofesi sebagai advokat, penelliti PSHK, dan mahasiswa.

Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja menyatakan, “Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.”

Baca Juga : Gelar Lokakarya, Hakim MK Bahas Tindak Pidana Pencucian Uang

Kuasa hukum para Pemohon, Parningotan Malau menyatakan Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945.

Parningotan menjelaskan, terhadap Pemohon I, ketentuan pasal tersebut menimbulkan kerugian bagi dirinya karena tidak dapat menerima putusan penerimaan permohonan yang diajukan pada Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkum HAM untuk memperoleh diterbitkannya Keputusan Tata Usaha Negara.

Sebab, norma tersebut telah menghilangkan kewenangan pengadilan untuk memberikan putusan atas permohonan yang dianggap dikabulkan secara hukum.

Dengan demikian, hal tersebut telah menimbulkan kekosongan hukum dan ketidakpastian hukum karena permohonan yang diajukan Pemohon I tersebut tidak dibalas dan telah melewati tenggat waktu 10 hari berdasarkan Pasal 53 UU AP atau tenggat waktu 5 hari sebagaimana perubahannya menjadi Pasal 175 angka 6 UU Cipta Kerja.

“Akibatnya Pemohon I tidak dapat menempuh upaya Fiktif Positif untuk membela kepentingan klien dan ia pun tidak bisa menjalankan tugas yang sudah diamanahkan untuk mendapatkan kepastian hukum untuk memperoleh putusan penerimaan permohonannya,” kata Victor Santoso pada sidang yang dihadirinya secara virtual.