Kala itu,
Anak-anak Pertiwi tak pernah gentar menghadapi bahaya petaka saat negara lagi genting.
Maut mengintai delapan penjuru, kematian menghadang, ajal tidak pernah dihiraukan. Liang lahad sudah terbayang, kerinduan syahid pun menjadi dambaannya.

Bersatu dalam semangat jiwa, bergotong royong usir penjajah untuk meraih kemerdekaan demi memanjakan anak-anak modern, generasi millenial.

Saat itulah bangsa Indonesia menekan tombol hari kemerdekaannya 17 Agustus 1945, berkat jasa para pahlawan.

Tak terbayang jika gelora keberanian tak tumbuh di sanubari anak-anak negeri (kala itu), Indonesiaku akan menjadi budak bagi bangsanya. Pasti menumpang di tanah sendiri.

Betapa sulitnya meraih kemerdekaan, susahnya menggapai kemenangan serta repotnya mengukir kejayaan.
Kemerdekaan diraih dengan ribuan ton darah telah tumpah.

Kemenangan digapai dengan ratusan ribu tulang belulang berserakan.
Manakala suatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya dengan darah & dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa sudah arif nan bijak untuk kemerdekaannya.

Alhamdulillah, semua perih dan luka telah dilalui, berubah menjadi haru dan bahagia. Berkat mereka yang telah berjuang. Itulah pahlawanku, pahlawan kami, dan pahlawan nasional kita semuanya.

Kini, rakyat dapat bernapas lega tanpa sesak. Tidak merasa takut dan trauma yang membara. Jasa pahlawan menjadi saksi.
Selamat jalan wahai para patriot bangsa, berkatmu Indonesia harum nan jaya. Tetesan darahmu telah membangun negeri ini. Kini, aku dirikan tugu untukmu nonstop pujian abadi.
**
Namun, Kemerdekaan Republik Indonesia akhir-akhir ini, aura kemenangannya mulai dikotori sebagian anak-anak negeri. Perjuangan para pahlawanku direcoki manusia-manusia tamak dan jiwa-jiwa serakah. Pribadi-pribadi seperti ini tumbuh subur di negeriku, kerakusannya melupakan segalanya.

Memang, cukup sulit menyeleksi dan menyortir ‘orang yang beradab’ dan ‘orang yang biadab’. Karena domba telah bertukar bulu dengan serigala.