Pria renta itu memasuki sebuah gedung pemerintahan berubin keramik dengan diantar cucunya. Dia sedang mengurus sebuah dokumen.

Sudah empat jam dia menunggu dan mengantre semenjak pagi. Dia meninggalkan desa pagi-pagi buta tadi. Jaraknya sekira dua jam dengan roda dua berkecepatan sedang.

Sejatinya kantor ini sudah lama mencanangkan pengurusan dokumen secara daring. Ada dua kendala bagi si Bapak tadi. Dia dan cucunya gaptek! Bahkan tak punya gawai.

Hanya sebuah ponsel lipat yang setia menemani mereka. Mau tak mau petugas tetap melayani mereka dengan gawai milik kantor. Padahal layanan daring dibuat agar pemohon tak perlu sering ke kantor.

Suatu ketika di sebuah kantor saya melihat seorang memurkai seorang pegawai akibat dokumen kependudukannya tertukar dengan orang lain.

Namanya Yanti, sedang dokumen yang dia terima atas nama Anti. Pegawai itu secara tak sengaja memberikan dokumen kependudukan Yanti kepada Anti. Tertukar rupanya.

Pernah pula seseorang bolak-balik sebuah kantor hanya persoalan perbedaan satu huruf pada dokumennya yang tidak pernah tuntas. Kerap pula kita lihat seseorang merasa jumawah jika diantar oleh seorang berambut cepak berseragam loreng. Mungkin dia berharap privilese dengan membawa “pengawal” segala.

Dahulu, ‘the King can do no wrong’, raja tiada pernah salah. Kini, pemerintah selalu saja salah di mata rakyatnya.

Memang mereka kini bukan raja, mereka pelayan. Persoalan pelayanan publik telah lama mencuri perhatian para akademisi untuk diteliti. Ribuan skripsi dan karya ilmiah telah lahir dengan meneliti pelayanan publik dengan segala kusut masai.

Bukan salah bola pingpong kalau harus diseret-seret ke perkantoran. Seseorang merasa dipingpong jika urusannya tidak kelar-kelar namun harus menemui berbagai orang dengan berbagai karakter.