Puasa adalah jalan untuk meraih ketakwaan (iman yang solid). Dalam sebuah hadits qudsi, Allah SWT berfirman.
الصيام لي وأنا أجزي به
“Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya“

Kalau ibadah salat dan zakat adalah ibadah yang pelaksanaannya harus kita perlihatkan, bahkan ibadah haji setelah ditunaikan maka kita akan mendapat gelar haji atau Hajjah, yang artinya bisa dinilai oleh orang lain, berbeda dengan puasa. Kita bisa berlagak seolah-olah kita berpuasa, tapi hakikatnya yang tahu hanya Allah SWT, tidak bisa kita jadikan puasa sebagai alat pencintraan, karena yang bisa menilai hanyalah Allah SWT. Sehingga keimanan bahkan ketakwaan itu sendiri, adalah urusan antara individu dengan Tuhannya semata, tidak ada urusan dengan orang lain.

Kedua, momen untuk mempererat solidaritas kemanusiaan. Tentu kita memahami bahwa manusia adalah makhluk sosial, tidak bisa kita menafikan kontribusi atau peran orang lain dalam kehidupan kita. Dalam konsep kebutuhan manusia menurut Abraham Maslow, mulai dari dasar Piramida hierarki kebutuhan manusia sampai pada puncak Piramida tersebut, semuanya bergantung pada sikap orang lain pada kita.

Bulan Ramadhan, dimana kita diperintahkan untuk berpuasa, agar kita bisa merasakan apa yang dirasakan oleh si fakir dan miskin yang tidak bisa makan karena tidak ada yang bisa dimakan, merasakan lapar dan dahaga meski tetap harus menjalani kehidupan yang apa adanya. Dalam perintah berzakat, kita diperintahkan membagi sebagian yang kita punya, agar si fakir dan miskin tadi bisa makan dan minum dengan nikmat tanpa harus melakukan tindak kriminal. Kedua perintah itu akan mempererat solidaritas sebagai sesama manusia.

Baca Juga : Masyarakat Bantimurung Terima BLT di Safari Ramadan MYL