KOLOMBO – Sri Lanka memberikan kekuasaan darurat kepada militer dan polisi untuk menahan orang tanpa surat perintah pada Selasa (10/5/2022). Keputusan itu usai bentrokan yang membunuh tujuh orang dan melukai lebih dari 200 orang.

Pemerintah Presiden Gotabaya Rajapaksa dan Perdana Menteri yang mengundurkan diri Mahinda Rajapaksa  menguraikan kekuasaan luas bagi militer dan polisi untuk menahan dan menanyai orang-orang tanpa surat perintah penangkapan.

Baca Juga : Rusia Hadapi Ancaman Sanksi Ekonomi, 4 Gubernur Kompak Mengundurkan Diri

Ia mengatakan, militer dapat menahan orang hingga 24 jam sebelum menyerahkannya ke polisi.

Sementara itu, aturan tersebut pun membuat petugas keamanan dapat menggeledah paksa properti pribadi, termasuk kendaraan pribadi.

“Setiap orang yang ditangkap oleh petugas polisi harus dibawa ke kantor polisi terdekat,” kata pemberitahuan perintah tersebut menetapkan tenggat waktu 24 jam bagi angkatan bersenjata untuk melakukan hal yang sama.

Beberapa analis menyatakan keprihatinan atas potensi penyalahgunaan tindakan darurat.

“Dalam situasi di mana ada keadaan darurat dan jam malam, siapa yang bisa memantau untuk memastikan peraturan ini tidak disalahgunakan?” kata Bhavani Fonseka dari lembaga pemikir Center for Policy Alternatives yang berbasis di Kolombo.

Ribuan pengunjuk rasa menentang jam malam untuk menyerang tokoh-tokoh pemerintah, membakar rumah, toko, dan bisnis milik anggota parlemen partai yang berkuasa dan politisi provinsi. Juru bicara polisi Nihal Thalduwa, mengatakan, meskipun ada laporan sporadis tentang kerusuhan, situasi tenang pad Selasa.

Nihal mengatakan, sekitar 200 orang juga terluka dalam kekerasan yang menyebabkan jam malam di seluruh pulau sampai pukul 07.00 waktu setempat.

Serangan-serangan terhadap tokoh-tokoh pemerintah itu tampaknya merupakan pembalasan atas sebuah insiden hanya beberapa jam sebelum pengunduran diri Rajapaksa.