OPINI – Kita mungkin tahu bahwa Hamster akhir-akhir ini digemari oleh beberapa kalangan. Tentu bisa saja, DPR ingin memiliki terobosan baru dan unik. Melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Rakyatlah yang dijadikan sebagai Hamster. Memang kita tak diberikan kandang dengan panjang persegi. Akan tetapi diberikan aturan-aturan atau pasal-pasal yang menyangkut tentang kebebasan sipil.

Hamster mungkin jauh lebih baik. Sebab majikanya akan memberikan jadwal makan dan minum, tak memberikan pekerjaan, hanya bermain di seputaran kandang saja. Sedangkan rakyat hari ini, DPR berusaha untuk menjadikannya mainan di dalam sirkuit politik untuk dapat meningkatkan keuntungan pribadinya.

Tentu hal ini menjadi PR kita bersama untuk terus mengawal agar RKUHP perlu direvisi bersama dan menghapus pasal – pasal yang kontroversi dari hak asasi manusia. Karena akhir-akhir ini, Rancangan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sempat ramai ditolak pada 2019 kembali diperbincangkan untuk mengesahkannya di bulan ini atau bulan juli.

Niat memperbarui warisan kolonial Belanda ini sebenarnya telah dicetuskan sejak puluhan tahun silam. Berulang kali, RKUHP pun masuk dalam Program Legislasi Nasional DPR, tetapi proses pembahasannya tak pernah rampung, selalu kandas di tengah jalan. Melalui sidang paripurna di penghujung September 2019 lalu, DPR akhirnya memutuskan menunda pengesahan RKUHP.

Terlepas dari fakta RKUHP penundaan, kini akan segera disahkan pada bulan juli ini. Mesti kita tahu apa-apa saja yang menjadi kontroversi. Sebab, Jangan sampai ada misi penting, bukan hanya jadi warisan kolonial. Tapi, mengenai landasan Hak Asasi Manusia, keadilan gender dan lain sebagiannya.

Dalam pembahasan tersebut mestinya draf terbaru dari RKUHP itu dibuka secara luas. Sebab, transparansi revisi aturan hukum pidana sangat penting, karena ini menyangkut atau berdampak pada hak asasi manusia. Ini jelas diatur dalam Komentar Umum pasal 25 ICCPR tentang hak atas partisipasi publik No.25.