Selain itu, Heru mencontohkan, jika di Jakarta ada 5 wilayah dan LaNyalla bermain di Timur dan Pusat saja, misal ada 100 titik, maka satu titik saja biayanya sekitar Rp1 Miliar.

“Belum wilayah yang lainnya di daerah,” katanya.

Namun, lanjutnya, yang menjadi pertanyaan ketika billboard itu menggunakan logo DPD apakah memakai anggaran DPD atau anggaran pribadi? Karena dia melihat isi di billboard bukan tentang DPD, tapi mensosialisasikan sosok LaNyalla sebagai bacapres (Bakal Calon Presiden).

Menurutnya, dalam undang-undang, istilah mosi tidak percaya itu tidak ada, begitu pula bahwa Fadel tidak membuat laporan selama menjabat 3 tahun sebagai Wakil Ketua MPR RI hanya alasan yang dicari-cari.

“Terkait BLBI juga sudah selesai,” tegasnya.

Lebih lanjut Heru menduga, pencopotan Fadel itu intinya karena LaNyala tidak suka ada yang menghalangi ambisinya, dan mosi tidak percaya itu hanya mengada-ada.

Ketika datang ke Sulawesi dibarengi dengan agenda relawan, bukan kunker sebagai kapasitas sebagai Ketua DPD untuk menyerap aspirasi dari daerah.

“Kalau saya lihat LaNyala menumpangi DPD. Ini salah satu preseden buruk di publik, menggunakan lembaga negara untuk pertarungan di pemilu mendatang. Ini suatu bentuk kecurangan,” katanya.

“Semestinya KPK turun adakah penggunaan anggaran, karena tidak semestinya anggaran untuk kegiatan DPD tapi digunakan untuk kepentingan pribadi,” sambungnya.

Menurutnya, LaNyala terlihat jelas ambisi untuk maju, bukan hanya sebatas billboard tapi juga gugatan ke MK.

Baca Juga : Pemberhentiannya Cacat Hukum, Fadel Adukan La Nyalla ke BK DPD RI