Advokat senior ini juga menambahkan, dari hasil seleksi itu kemudian panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memilih, 3 nama calon pejabat pimpinan tinggi madya untuk setiap 1 lowongan jabatan; dan tiga calon nama pejabat pimpinan tinggi madya yang terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disampaikan kepada pejabat pembina Kepegawaian; serta pejabat pembina Kepegawaian mengusulkan tiga nama calon pejabat pimpinan tinggi madya sebagaimana dimaksud pada ayat 3 kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Dan selanjutnya; Presiden memilih 1 nama dari 3 nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi madya. Kemudian ketentuan pasal 116 ayat 2 tentang Penggantian Pejabat Pimpinan Tinggi, secara khusus mengatur bahwa penggantian pejabat pimpinan tinggi utama dan madya sebelum dua tahun dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Presiden.

“Sehingga dengan demikian dapat dikonstatir secara yuridis bahwa Gubernur sebagai PPK (Pejabat Pembina Kepegawaian) pada hakikatnya diberikan atribusi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan pengisian maupun pergantian jabatan pimpinan tinggi madya di tingkat provinsi, setelah mendapat persetujuan Presiden, jadi proses tersebut secara materill ada pada Gubernur sebagai PPK tentunya dengan alasan-alasan khusus yang secara hukum dapat dibenarkan, dan secara formil ada pada presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN, desain hukum dalam Undang-Undang ASN, “tuturnya.

Secara filosofis, lanjut Mantan Pengacara Presiden Jokowi di Mahkamah Konstitusi RI pada saat sengketa Pilpres 2019 lalu, yang dimaksudkan untuk membangun aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat.