Ingin jadi dokter, belum tentu lolos. Hal ini tentu menjadikan kompetisi dokter dalam meniti karier semakin ketat, belum lagi masuknya TKA dibidang kesehatan yang berkeinginan bekerja di Zamrud Khatulistiwa. Lebih-lebih lagi mau jadi Aparatur Sipil Negara (ASN) KPK, harus mampu memilih salah satu barometer “Pancasila” atau “Al-Quran” sebagai instruksi advokasi. Ah, bikin aturan aneh-aneh saja penghuni negeriku! Kok kitab suci Al-Qur’an disandingkan dengan Pancasila. Adalah sesuatu yang mustahil dipersandingkan oleh siapa pun. Soalnya, perbedaannya antara bumi dan langit.

Kematian merupakan peristiwa tercepat menjadikan segala sesuatunya tinggal legenda dan reminisensi.

Kematian tidak pernah menunggu manusia bertaubat lebih dahulu. Kematian pun tidak menanti orang harus berusia tua renta.

Bagi kematian, mungkin Anda adalah miliuner, tuan-tuan negeri yang dipuja-puja para puaknya, Ponggawa-ponggawa Loppo di distriknya, atau tokoh penting setenar jagat raya. Namun, malaikat Maut, Anda hanyalah nama yang sudah menjadi target kematian dalam katalognya.

Meskipun Anda sudah divaksin beberapa jenis penawar bakteri: Vaksin Sinovac, AstraZeneca dan Sinopharm dari berbagai produsen vaksin dunia, demi meningkatkan kemanjuran sistem imun kekebalan tubuh. Malaikat Izrail tidak akan berkedip melihat dengan tatapan mata liar & tajam, bila Anda memang target kematiannya.

Sayang sekali, sang malaikat Maut tidak bisa disogok songkolo’ begadang tujuh bungkus. Tidak mungkin diajak ngopi-ngopi di Warkop Gondrong, juga tidak dapat diiming-imingi sejumlah tumpukan uang merah Soekarno.

Begitu malaikat urusan nyawa melesat turun ke pelataran bumi dengan kecepatan super “sekedip-sekejap”. Tidak ada istilah kompromi, tidak mengenal katebelece, dan tidak ada akses istimewa untuk mengkhianati jibilah takdir dan suratan nasib. Urusan waktu ‘jatuh tempo’ kematian, tidak ada dalam kamus untuk toleransi, titik!!