“Memang tidak bisa dipungkiri bahwa masih ada sejumlah norma di dalam perubahan RKUHP yang sebagian orang memandang bahwa ini seperti mengulang kembali semangat kolonialisme,” jelasnya.

Kendati demikian, Nasir, yang merupakan politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, mengaku semuanya kembali lagi kepada pendapat masing-masing individu.

Pihaknya meminta agar ada titik temu antara parlemen dan masyarakat sipil agar tercapai pemahaman yang sama terkait pasal-pasal krusial dalam RKUHP.

Hal itu merespons pernyataan pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti pada kesempatan yang sama yang menilai banyak pasal krusial di dalam RKUHP yang mereproduksi semangat kolonialisme Belanda. Dalam paparannya, Bivitri mengaku tidak melihat urgensi RKUHP apabila isinya tidak baru dan mengikuti paradigma lama.

Bivitri lantas mencontohkan sejumlah pasal ‘kolonialisme’ seperti penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 240 RKUHP), penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 353 dan 354 RKUHP), serta penyelenggaraan unjuk rasa dan demonstrasi tanpa izin (Pasal 273 RKUHP).

“Pasal harkat dan martabat presiden itu dulu ya dibuat karena kita sebagai pribumi yang dianggap tidak beradab dan dirasa perlu ditertibkan karena suka menghina ratu. Jadi paradigma lama tuh, tapi direproduksi sekarang, kita bukan pribumi versus penjajah,” ujar Bivitri.