Di samping gerakan deklarasi perguruan tinggi tersebut, film Dirty Vote yang digarap oleh produser “Sexy Killer” Dandy Laksono rilis pada 11 Februari 2024, tiga hari jelang pemungutan suara. Film tersebut mencakup temuan-temuan yang dirangkum oleh akademisi di bidang Ilmu Hukum terkait pelanggaran pemilu. Set dari film tersebut tergolong berbeda dengan film dokumenter lainnya, film Dirty Vote menampilkan pemberitaan dan data pada videotron besar sembari tiga ahli hukum menjelaskan pelanggaran hukum secara bergiliran.

Uniknya, sekalipun film Dirty Vote memaparkan pelanggaran dari ketiga paslon, namun hanya paslon nomor urut dua yang melakukan konferensi pers pasca film rilis, dan mempertanyakan kredibilitas dari ahli hukum yang terlibat dalam film tersebut.

Petisi dan deklarasi perguruan tinggi, serta film Dirty Vote yang digadang-gadang akan merubah permainan atau gamechanger, justru bagaikan angin lalu saja bagi para pemilih. Hal tersebut dapat terjadi salah satunya karena masyarakat pemilih telah memiliki ketetapan hati mengenai pilihannya, sehingga deklarasi guru besar maupun film Dirty Vote hanya dapat memiliki efek bagi swing voter yang kemungkinan jumlahnya amat kecil di Pemilu 2024. Ketetapan hati pemilih ini menjadi menarik ditelaah, apa dasar dari ketetapan hati tersebut di saat fakta-fakta empiris dan teoritis mengenai penyimpangan demokrasi telah dipaparkan dengan cukup gamblang?.

Menurut hemat penulis salah satu yang besar kemungkinan telah menggiring ketetapan hati pemilih pada Pemilu 2024 ini adalah algoritma media sosial. Data terbaru dari Statista menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam delapan belas menit dalam sehari khusus untuk bermedia sosial.

Jika dibandingkan dengan SKS atau Sistem Kredit Semester di mana satu SKS berarti satu jam pembelajaran dalam satu pekan, maka media sosial bernilai kurang lebih 21 SKS, waktu yang lebih dari cukup untuk seorang guru besar mengajarkan semua yang ia ketahui kepada mahasiswanya.