Namun, media sosial tidak diisi oleh guru besar atau ahli hukum, media sosial merupakan platform dari serangkaian konten dari pengguna yang berbeda-beda dan dikumpulkan oleh algoritma terpersonalisasi.

Algoritma ini, entah organik atau mekanik, telah berhasil mempengaruhi para pengguna untuk menetapkan pilihan mereka pada Pemilu 2024 ini.

Algoritma media sosial mendisrupsi bagaimana otoritas diperlakukan pada Pemilu 2024. Pemilik otoritas ilmu pengetahuan, atau mereka yang mendalami sebuah ilmu sehingga ‘berhak’ untuk membicarakan hal tersebut, kini menjadi kian tidak relevan, di tengah tingginya durasi penggunaan media sosial oleh para pengguna.

Bahkan influencer di media sosial antah berantah lebih memperoleh pengakuan dari para pengikutnya ketimbang para guru besar, dan ini merupakan fakta yang pahit namun harus dihadapi oleh para guru besar dan pakar. Sebuah status media sosial anonim yang tersebar menyebutkan bahwa golongan akademisi harus turun dari menara gading di mana mereka begitu terpisah dengan kenyataan serta realitas yang terjadi di tengah masyarakat.

Pemilik otoritas perlu menurunkan ego dan merambah ke media sosial populer untuk memberikan konten edukasi alternatif –di mana mungkin konten hiburan menjadi konten utamanya. Dengan demikian, pengguna sosial dapat mendapatkan barang satu atau setengah SKS edukasi dari para pemilik otoritas ilmu pengetahuan, dan jika beruntung serta menjadi gerakan yang populer, mereka akan kembali menjadi relevan.