RAKYAT NEWS, MAKASSAR – Proses pemungutan suara dalam Pemilu 2024 telah usai dan saat ini fase pemilu telah memasuki perhitungan suara. Riuh rendah perdebatan masyarakat masih seputar hasil dari pemilu itu sendiri, di mana beberapa anggota masyarakat telah merayakan kemenangan, beberapa masih berupaya mangawal hasil pemilu serta menunda euforia ataupun menerima kekalahan, dan beberapa lainnya dalam fase penolakan (in denial), menuding kecurangan, serta gencar menuntut transparansi KPU.

Kemenangan paslon nomor urut dua versi hitung cepat atau Quick Count dalam satu putaran pemilu, pada dasarnya menjadi hal yang dapat diperkirakan namun tetap mengejutkan bagi sejumlah pihak.

Kemenangan tersebut dapat diperkirakan mengingat paslon tersebut didukung oleh status quo yang telah mengerahkan upaya-upaya pemenangan yang dapat ditelusuri melalui pemberitaan baik di media arus utama maupun media sosial.

Kemenangan tersebut juga dapat dipahami mengingat rakyat Indonesia cenderung memandang kepemimpinan sebagai sejumlah kualitas atau properti yang dimiliki dalam derajat berbeda bagi setiap orang, semisal jika seseorang yang memiliki garis keturunan kepemimpinan, maka orang tersebut dipandang dapat memimpin juga sebagaimana orangtuanya.

Pribahasa “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” menjadi pedoman masyarakat dalam memahami kepemimpinan, serta menjadi relevan di saat Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo ditunjuk untuk menjadi cawapres dari Prabowo Subianto.

Kemenangan paslon nomor urut dua juga mengejutkan bagi sejumlah pihak, khususnya para kalangan akademisi di Indonesia. Pasalnya, sebelum pemilu diselenggarakan, sejumlah gerakan guru besar yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia telah mengajukan petisi dan deklarasi yang dimulai dari petisi Bulaksumur Guru-guru Besar Universitas Gajah Mada pada 31 Januari 2024 dan disusul oleh petisi UII Yogyakarta, Universitas Indonesia, Universitas Hasanuddin, serta universitas lainnya. Petisi dan deklarasi tersebut masing-masing kurang lebih memaparkan kemunduran demokrasi berikut sejumlah tuntutan kepada rezim pemerintah.

Di samping gerakan deklarasi perguruan tinggi tersebut, film Dirty Vote yang digarap oleh produser “Sexy Killer” Dandy Laksono rilis pada 11 Februari 2024, tiga hari jelang pemungutan suara. Film tersebut mencakup temuan-temuan yang dirangkum oleh akademisi di bidang Ilmu Hukum terkait pelanggaran pemilu. Set dari film tersebut tergolong berbeda dengan film dokumenter lainnya, film Dirty Vote menampilkan pemberitaan dan data pada videotron besar sembari tiga ahli hukum menjelaskan pelanggaran hukum secara bergiliran.

Uniknya, sekalipun film Dirty Vote memaparkan pelanggaran dari ketiga paslon, namun hanya paslon nomor urut dua yang melakukan konferensi pers pasca film rilis, dan mempertanyakan kredibilitas dari ahli hukum yang terlibat dalam film tersebut.

Petisi dan deklarasi perguruan tinggi, serta film Dirty Vote yang digadang-gadang akan merubah permainan atau gamechanger, justru bagaikan angin lalu saja bagi para pemilih. Hal tersebut dapat terjadi salah satunya karena masyarakat pemilih telah memiliki ketetapan hati mengenai pilihannya, sehingga deklarasi guru besar maupun film Dirty Vote hanya dapat memiliki efek bagi swing voter yang kemungkinan jumlahnya amat kecil di Pemilu 2024. Ketetapan hati pemilih ini menjadi menarik ditelaah, apa dasar dari ketetapan hati tersebut di saat fakta-fakta empiris dan teoritis mengenai penyimpangan demokrasi telah dipaparkan dengan cukup gamblang?.

Menurut hemat penulis salah satu yang besar kemungkinan telah menggiring ketetapan hati pemilih pada Pemilu 2024 ini adalah algoritma media sosial. Data terbaru dari Statista menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan waktu kurang lebih tiga jam delapan belas menit dalam sehari khusus untuk bermedia sosial.

Jika dibandingkan dengan SKS atau Sistem Kredit Semester di mana satu SKS berarti satu jam pembelajaran dalam satu pekan, maka media sosial bernilai kurang lebih 21 SKS, waktu yang lebih dari cukup untuk seorang guru besar mengajarkan semua yang ia ketahui kepada mahasiswanya.

Namun, media sosial tidak diisi oleh guru besar atau ahli hukum, media sosial merupakan platform dari serangkaian konten dari pengguna yang berbeda-beda dan dikumpulkan oleh algoritma terpersonalisasi.

Algoritma ini, entah organik atau mekanik, telah berhasil mempengaruhi para pengguna untuk menetapkan pilihan mereka pada Pemilu 2024 ini.

Algoritma media sosial mendisrupsi bagaimana otoritas diperlakukan pada Pemilu 2024. Pemilik otoritas ilmu pengetahuan, atau mereka yang mendalami sebuah ilmu sehingga ‘berhak’ untuk membicarakan hal tersebut, kini menjadi kian tidak relevan, di tengah tingginya durasi penggunaan media sosial oleh para pengguna.

Bahkan influencer di media sosial antah berantah lebih memperoleh pengakuan dari para pengikutnya ketimbang para guru besar, dan ini merupakan fakta yang pahit namun harus dihadapi oleh para guru besar dan pakar. Sebuah status media sosial anonim yang tersebar menyebutkan bahwa golongan akademisi harus turun dari menara gading di mana mereka begitu terpisah dengan kenyataan serta realitas yang terjadi di tengah masyarakat.

Pemilik otoritas perlu menurunkan ego dan merambah ke media sosial populer untuk memberikan konten edukasi alternatif –di mana mungkin konten hiburan menjadi konten utamanya. Dengan demikian, pengguna sosial dapat mendapatkan barang satu atau setengah SKS edukasi dari para pemilik otoritas ilmu pengetahuan, dan jika beruntung serta menjadi gerakan yang populer, mereka akan kembali menjadi relevan.