Nanda menganggap penting membangun kesadaran perpajakan bagi Bumdesa, karena Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempunyai kewenangan atau hak memunguti pajak. Sedangkan, Bumdes sebagai entitas mempunyai kewajiban membayar pajak.

Dengan begitu, Nanda menegaskan pihaknya sangat perlu mempunyai konsep guna membangun kesadaran tentang perpajakan yang dimaksud.

“Jadi membayar pajak itu sadar bahwa sebuah kewajiban. Kedepan pajak menjadi budaya membayar pajak bukan yang harus dihidari, dijauhi, dibenci tetapi menjadi kesadaran membayaran pajak,” harap dia.

Yang perlu diingat, kata Nanda, pengabdian masyarakat kepada Bumdesa ini anggarannya berasal dari APBN yang dipungut salah satunya dari sumber pajak yang besar.

“Jadi kembali, kembali mengedukasi teman-teman Bumdesa untuk memanjemen perpajakan dengan baik. Kewajiban-kewajiban (Membayar pajak) ditunaikan dengan baik,” ujar Nanda.

Nara sumber Kedua, Antonius Ragil Kuncoro selaku Dosen Politeknik Keuangan Negara STAN (PKN STAN) mengatakan terdapat entitas perbedaan pengadaan barang dan jasa antara dalam Pemeritahan Desa dengan Bumdesa.

Ia juga menegaskan bahwa Bumdes tidak identik dengan UMKM, karena UMKM sendiri diatur oleh Kementrian Koprasi. Karena, Bumdesa sudah jelas harus berbadan hukum, sedangkan UMKM sekelompok bahkan masih dapat dilakukan oleh perorangan.

Selain itu, Bumdesa juga tidak seratus persen sektor privat. Maka disini terdapat perbedaan antara Bumdesa dengan pembentukan Pt, karena modal Bumdes berasal dari APBdes.

Diketahui oleh Ragil, di dalam Undang-undang desa nomor 6 tahun 2014 bahwa fungsi Bumdes tidak serta merta hanya mencari laba atau keuntungan.

“Bisa jadi Bumdes sebagai kepanjangan negara untuk pemerataan pembangunan sabagai fungsi sosial,” pungkas dia.

Dengan begini, Ragil menilai rekan DJP perlu memahami undang -undang desa ini yang memyatakan Bumdes tidak selalu berorientasi laba semata. Meskipun, pendirian Bumdesa sendiri mempunyai target meningkatkan penambahan Pendapatan Anggaran Desa (PADes).