Sementara itu, laki-laki “pengguna” bukanlah pelacur sehingga dibiarkan pergi atau tidak perlu ditangkap. Di samping itu, pengaturan semacam ini juga sangat bias kelas karena hanya perempuan miskinlah yang “berkeliaran” di jalan, sementara perempuan kelas menengah yang berada di dalam mobil, tentulah terkecualikan dari penangkapan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hampir tidak ada pasal yang berbicara mengenai korban kejahatan. Hal yang diatur hanyalah mengenai pelaku kejahatan. Tentu saja hal ini sangat terkait erat dengan konteks sejarah pada waktu hukum ini dibuat, yaitu agar jangan sampai rakyat (Perancis) dapat dengan mudah dikriminalisasi oleh penguasa yang sewenang-senang. Kemudian KUHP “dibawa” oleh pemerintah Belanda ke Indonesia, dan diberlakukan sebagai Wetboek van strafrecth voor Indonesie, dan selanjutnya “dikemas” sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia sampai saat ini.

Sungguhpun dalam KUHP diatur hal-hal yang sangat komprehensif, namun bila berhadapan dengan persoalan perempuan, maka hanya penegak hukum yang progresif, menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan berperspektif korban (perempuan) sajalah yang mampu menggunakannya secara maksimal. Penegak hukum yang progresif serta menjunjung tinggi hak asasi manusia akan membaca KUHP dengan perspektif keadilan korban (perempuan), dan akan dapat menemukan pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku.

Lebih lanjut, dapat ditemukan bagaimana sikap dan pandangan para penegak hukum terhadap perempuan, baik sebagai korban kejahatan maupun pelaku kejahatan. Perempuan yang menjadi korban, sering harus berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan penegak hukum yang sulit untuk dijawab oleh korban, apalagi bila masih di bawah umur atau masih dalam trauma karena mengalami kekerasan. Padahal, penegak hukum merasa harus menemukan “kebenaran materiil” dari perkara.

Penegak hukum yang tanpa perspektif akan “membaca” situasi ini sebagai “omongan” korban yang tidak dapat dipercaya, patut diragukan karena memberi jawaban yang berbeda-beda. Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga yang meminta cerai di pengadilan (agama) misalnya, berhadapan dengan pertanyaan hakim yang malahan menyudutkannya, seperti “Ibu melayani orang lain sampai pagi, sementara suami sendiri tidak dilayani”. (Perempuan tersebut seorang perawat di rumah sakit yang memang harus melakukan kerja lembur dalam tugasnya).