Sementara itu, penegak hukum yang adil dan menjunjung tinggi hak asasi manusia akan mengerti posisi rentan dari korban dan melakukan strategi yang tepat dalam mencari kebenaran materiil. Misalnya, penegak hukum akan bersikap sebagai teman bagi korban kekerasan anak-anak di bawah umur, menanyakan peristiwa seputar perkara dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersahabat dan tidak menakutkan.

Dalam masyarakat juga ditemukan bahwa perempuan “pelaku kejahatan” mendapat stigma yang merugikan, misalnya beberapa di antaranya didakwa sebagai pelaku pembunuhan bayi (juga dalam kasus “aborsi”). Dalam posisi seperti itu, mereka akan mendapat stigma sebagai pembunuh. KUHP mengancamnya dengan pasal pembunuhan. Pertanyaan di persidangan akan menempatkan mereka sebagai terdakwa pembunuh, dan pencarian kebenaran materiil akan diarahkan pada seberapa jauh kebenaran tentang dia membunuh atau tidak. Melakukan konfirmasi antara berkas tuduhan jaksa dengan KUHP memang lebih mudah bagi hakim. Dalam hal ini, tidak terlalu dianggap perlu untuk menggali lebih jauh mengapa perempuan ini membunuh bayinya, bagaimana pengalamannya, hal-hal apa yang melatar-belakangi perbuatannya. Padahal penggalian pengalaman seluas-luasnya dan memperhitungkannya dalam proses penanganan perkara, sangatlah dibutuhkan.

Seorang perempuan yang dipantau, membunuh bayinya karena tidak terlalu menyadari bahwa dirinya hamil akibat perbuatan seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab, sampai pada bulan-bulan mendekati akhir masa kehamilannya. Bagi seorang perempuan, peristiwa yang terjadi dalam tubuhnya, dan apalagi kemudian “berniat” menghilangkan suatu bagian dari tubuhnya sendiri, tentulah merupakan pergumulan batin yang tiada tara. Pengalaman perempuan seperti ini seharusnya menjadi bahan pertimbangan juga. Tentu saja, pertanyaan berikutnya adalah: bagaimana dengan laki-laki, yang menyebabkan kehamilan itu terjadi? KUHP dan instrumen hukum lain (seperti UU Kesehatan) tidak mengatur hal tersebut.