Melalui United Nations High Commissioner for Rafugees (UNHCR), Abdul Hakim masih harus bersabar dan menunggu saat masih berada di Aceh. Hingga di tahun 2013, Abdul Hakim mencoba memberanikan diri naik kapal menuju Australia. Namun, sayangnya ia ditahan oleh pihak migrasi lalu dibawa kembali ke Tanjung Pinang. Kemudian di tahun 2014 barulah Abdul Hakim dipindahkan ke Kota Makassar.

Bertahun-tahun tinggal di negara orang, bukanlah impiannya untuk hidup tanpa status kewarganegaraan. Mencari perlindungan dari tindak kekerasan yang Abdul Hakim dan para pencari suaka lain yang mereka inginkan. Hidup layaknya masyarakat lain, bekerja, bersosialisasi, dan mendapatkan keamanan.

Pindah ke negara yang menerima keberadaan mereka dan mendapat status kewarganegaraan, adalah harapan terbesar Abdul Hakim dan pencari suaka lainnya.

“Jangan sekali-kali berkeinginan untuk menjadi migran. Hidup diatur tanpa status begini, bukan hal yang bagus untuk dijalani. Lebih baik hidup di hutan dengan makan seadanya tapi punya status, daripada hidup diakomodasi tapi tidak ada status kewarganegaraan sama sekali,” kata Abdul Hakim.

Bertahan hidup di negara orang lain bagi Abdul Hakim menjadi sebuah keharusan, apalagi dia telah menikahi Warga Negara Indonesia. Istri dan anak-anaknya bukan merupakan tanggungan dari organisasi seperti International Organization for Migration (IOM) untuk mendapat tambahan akomodasi layaknya keluarga pencari suaka lainnya.

Abdul Hakim
(Abdul Hakim memegangi bendera Indonesia saat mendaki gunung di Sulawesi Selatan/Abdul)

Dengan hanya memiliki Rp1.250.000 dari IOM, bagi Abdul Hakim tidaklah cukup untuk menghidupi keluarganya. Belum lagi masalah status kependudukan anak ketiga yang tidak tercatat siapa ayahnya.

Beberapa bulan lalu, istri Abdul Hakim melahirkan anak ketiga mereka. Namun, saat mengurus catatan kependudukan seperti Kartu Keluarga dan Akta Kelahiran, anak ketiga Abdul Hakim justru tidak tercantum nama ayahnya.