Apalagi tempat rumah tendensi (rudenim) mereka juga sangat dekat dan mereka saling berbaur, sehingga pernikahan mungkin saja terjadi secara agama dan dianggap sah. Tapi secara hukum negara atau dalam administrasi, pernikahan mereka tidak terdaftar.

Menurut Iin, pernikahan campur antara pengungsi atau pencari suaka dengan WNI tidak ada masalah. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan di sisi WNI khususnya perempuan, yaitu konsekuensi yang akan mereka dapatkan nantinya.

“Kalau si perempuan ini sudah tahu dengan segala konsekuensi saat akan menikahi pengungsi, berarti resikonya dia sendiri yang menanggung,”

Apabila pernikahan yang tidak tercatat secara administrasi negara, itu artinya segala urusan akan selesai begitu saja. Sebagai contoh apabila suami yang berstatus pengungsi atau pencari suaka tiba-tiba pergi dan istri WNI ingin diceraikan, maka dengan mudah suami menalak istri walaupun hanya melalui via pesan seperti SMS.

“Karena mereka tidak ada ikatan secara hukum yang bisa menahan si suami dari pengungsi ini bertanggungjawab. Kalau dia tiba-tiba bosan misalnya, atau merasa untuk ingin bercerai yah sudah,” jelas Iin.

Selain itu, resiko lain juga akan berdampak pada surat administrasi anak seperti akta kelahiran. Sesuatu yang tidak memiliki legalitas akan sangat beresiko hingga pada masa depan anak itu sendiri.

“Memang dilema, kasihan dari segi perempuannya. Tapi kalau dia sudah tahu konsekuensinya, maka tidak ada masalah,” tutur Iin.

Membahas soal pernikahan, bukan seperti hubungan antara dua orang layaknya sepasang kekasih yang apabila selesai dengan mudah ditinggalkan. Hubungan pernikahan itu akan menyangkut banyak hal, salah satunya adalah status anak apalagi melalui pernikahan antar beda negara, sehingga dibutuhkan aturan atau kebijakan yang mengatur hal-hal tersebut.