“Kalau dua anak itu tertulis nama ayah saja, karena saya kan bukan WNI dan tidak ada dokumen. Tapi yang ketiga ini tidak ada sama sekali,” keluh Abdul.

Tidak hanya Abdul. Setidaknya sampai tahun 2020, pencari suaka dari Rohingya yang tinggal di Makassar sebanyak 124 orang, 15 orang di antaranya menikahi WNI dari total di seluruh Indonesia.

Ahmad (28) juga satu di antaranya. Menikahi wanita yang juga keturunan Bugis-Makassar pada 2016 lalu. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai seorang anak perempuan kini usianya 5 tahun.

Beruntung kala itu keluarga kecil Ahmad masih dimudahkan untuk urusan administrasi seperti akte nikah dan akte kelahiran untuk anak. Sementara untuk buku nikah, mereka tentu saja tidak dapatkan mengingat Ahmad merupakan imigran tanpa status kewarganegaraan sehingga pernikahannya bersama istri tidak dianggap secara hukum.

Meski demikian, mereka sangat tahu dan memahami konsekuensi yang akan mereka dapatkan.

“Mau bagaimana lagi, pasrah saja. karena dari awal kita sudah tahu. Tapi yang namanya jodoh. Keluarga juga terima dia, mereka tidak ada yang protes, karena dia (Ahmad) orangnya baik. Dan sampai sekarang setelah menikah pun juga tidak berubah,” kata Ina (35), istri Ahmad.

Nasib Ahmad tidak jauh berbeda dengan kondisi kehidupan Abdul, Ahmad pun harus memenuhi kebutuhan keluarga dengan hanya mengandalkan pemberian akomodasi dari IOM.

Jika kebutuhan seperti beras habis, mereka terkadang makan mie instan. Ia dan keluarganya juga tidak ingin menerima bantuan lain, karena beresiko bantuan akomodasi dari IOM dan UNHCR terancam tidak diberikan. Apabila uang habis, Ahmad pun terpaksa meminjam kepada tetangga.

“Nanti kalau dapat akomodasi baru bisa bayar utang. Dapat dari mana uang kami ini?”
Berstatus sebagai imigran tanpa dokumentasi administrasi, Abdul Hakim dan Ahmad tidak bisa mendapatkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.