Sementara bagi Ahmad, tinggal jauh antara rumah istri dengan tempat penampungan (selter). Jika terpaksa harus menggunakan kendaraan bermotor untuk mengunjungi keluarganya, ia kerapkali ditangkap dan ditahan oleh pihak kepolisian dan Imigrasi, karena Ahmad tidak memiliki surat izin berkendara.

“Kami dilarang kerja. Tidak boleh bawa motor. Jadi susah,” keluh Ahmad.

Status Hukum Pernikahan antara Imigran dan WNI

Dosen Pengajar Hukum Pengungsi Internasional, Hukum dan HAM Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Dr. Iin Karita Shakarina mengatakan secara umum, status pengungsi maupun pencari suaka di negara singgah dianggap ilegal. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki dokumen administrasi dari negara asal. Satu-satunya penanda identitas mereka hanya kartu yang diberikan UNHCR sebagai organisasi pengawas mereka, sehingga tidak ada dokumen bagi pengungsi maupun pencari suaka untuk mengurus sesuatu yang berkaitan dengan administrasi.

“Itu akan sulit. Misalnya, mereka tidak bisa bekerja, atau menurut mereka memang tidak bisa menikah dengan warga negara seperti Indonesia,” sebut Iin yang juga merupakan Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Inilah yang dialami Abdul, Ahmad, dan beberapa pengungsi maupun pencari suaka lainnya yang menikahi WNI. Mereka juga tidak bisa mendapat pekerjaan layak untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sebagaimana masyarakat pada umumnya. Bahkan, semua yang berhubungan dengan dokumen administrasi pun mereka dipersulit.

Meski demikian, pernikahan adalah hal yang dianggap manusiawi dan merupakan bagian daripada hak asasi manusia. Jika ada pengungsi atau pencari suaka yang tertarik dengan warga lokal, mereka tidak ada larangan.

(ruang tamu rumah akomodasi yang terdiri dari beberapa kamar dan dihuni oleh dua orang atau
satu keluarga dari pengungsi maupun pencari suaka di Makassar/Marwah)