Kepala Divisi Keimigrasian Kementerian Hukum dan HAM Kantor Wilayah Sulawesi Selatan, Dodi Karnida mengatakan bahwa secara keimigrasian, pengungsi maupun pencari suaka masuk dalam kategori migran ilegal, karena tidak memiliki izin tinggal dan pengawasan terhadap mereka dilakukan oleh rumah detensi imigrasi.

“Meski mereka yang di sini sudah lama tinggal bertahun-tahun, sehingga ada di antara mereka yang menikah dengan warga negara Indonesia khususnya pengungsi laki-laki yang menikah dengan WNI perempuan,” kata Dodi.

Secara umum, pernikahan campur antara WNI dan imigran tetap diakui karena itu merupakan hak setiap individu.

“Saya kira bukan hanya pemerintah Indonesia saja mengakui itu, UNHCR, IOM juga mengakui pernikahan itu,”

Hanya saja pengungsi maupun pencari suaka tidak memiliki izin tinggal, sehingga kebanyakan mereka yang menikahi WNI tidak memiliki surat nikah. Adapun mereka hanya memiliki surat keterangan nikah secara agama.

Status Anak
Pernikahan antara pengungsi maupun pencari suaka dengan WNI tidak memiliki surat nikah yang dikeluarkan oleh negara, dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA), sehingga di dalam surat lahir anak tidak tercantum nama ayahnya. Tetapi tetap memiliki surat akta lahir dan tercatat di dalam kartu keluarga, ini merupakan hak setiap anak yang lahir di Indonesia.

Seperti anak-anak Abdul dan Ahmad. Mereka tetap mendapat hak diberikan akta kelahiran, dan dimasukkan ke dalam kartu keluarga.
Hanya saja bagi nama Abdul, Ahmad, dan imigran lain yang menikahi WNI tetap tidak diperbolehkan tercatat di dalam kartu keluarga, sehingga yang tercatat hanya ibu dan anak.

Ini tidak hanya terjadi kepada anak hasil nikah campur antara WNI dan imigran, antar sesama WNI pun yang tidak mendaftarkan pernikahannya, tentu tidak akan memiliki surat nikah. Anak pada akhirnya tetap merujuk kepada ibunya saja, tanpa mencantumkan nama ayah.