Ada satu bunyi surat Flo yang bernada satire:

“Pejabat-pejabat di London mengirimkan banyak ransum, tetapi lupa untuk mengirimkan periuk-periuk untuk memasaknya. Dan waktu periuk-periuk itu tiba. Daging diperintahkan untuk dipotong-potong dalam kepingan yang sama. Kadang-kadang seorang pasien mendapat bagian yang seluruhnya daging, yang berikutnya mungkin seluruhnya lemak atau tulang belaka. Inilah keuntungan perang.” (Star Weekly, 1960)

Dengan dedikasi yang dilakukan oleh Flo, pasca perang 1856, pemerintah Inggris menawarkan kepadanya sebuah kapal perang untuk membawanya pulang. Flo menolak. Ia kembali melalui Paris dengan seorang bibinya secara diam-diam: dengan mempergunakan nama nyonya dan nona Smith ia tiba di Inggris tanpa diketehui.

Setelah tiba di London Flo berucap “Saya tak ingin pemujaan, saya ingin pengertian.”

Ini adalah satu peran dari perawat bahwa perawat juga memiliki peran vital. Bukan hanya menunggu perintah dari profesi lain. Sehingga julukan “pembantu” tak bersemai di pikiran masyarakat kita.

Sejarah singkat di atas sebaiknya kita mengambil satu hikmah bahwa perjuangan apa pun itu. Cobalah abadikan segala momen dengan menulis. Sebab daya magis dari tulisan masih dipercaya hingga sekarang. Seperti gerak langkah Lady with the Lamp tadi, perjuangannya tak sekadar perjuangan belaka tapi ia lawan dengan tulisan.

Saya tidak membandingkan Flo dan perawat kontemporer, tapi patut mahasiswa keperawatan atau perawat Indonesia mengambil semangat Flo yang menempuh jalan kemanusiaan walau dicemoh oleh orang tuanya dan masyarakat Inggris. Dan tak lupa semangat menulis dari Flo biarpun perang sedang berkecamuk, ia masih tetap menuangkan pikirannya di beratus-ratus lembar kertas.

Penulis: Safar Banggai