Meski pertumbuhan global menunjukkan rebound di tahun 2021, pemulihan antar negara tidak merata disebabkan oleh berbagai faktor seperti keragaman level kontraksi di tahun 2020, disparitas kapasitas penanganan pandemi, perbedaan kecepatan vaksinasi, dan ketimpangan stimulus.

Di tahun 2022 ini, risiko global mengalami eskalasi, diperparah oleh meningkatnya tensi geopolitik. Konflik Rusia-Ukraina telah memperburuk disrupsi supply yang sudah terjadi sejak pandemi dan mendorong lonjakan harga komoditas. Akibatnya, tekanan inflasi tinggi terjadi di banyak negara yang mendorong dilakukannya pengetatan kebijakan moneter yang agresif termasuk di AS.

Tekanan inflasi di AS mencapai 9,1 persen pada Juni 2022 atau tertinggi dalam 40 tahun dan sedikit menurun menjadi 8,3 persen pada Agustus 2022. Sebagai respons, suku bunga Fed Funds Rate (FFR) telah naik dari 0,25 persen per Januari 2022 menjadi 2,50 persen per Juli 2022.

Kenaikan suku bunga diperkirakan terus berlanjut hingga mencapai di atas 3,5 persen pada tahun ini dan 4 persen tahun 2023. Selain itu, The Fed juga akan melakukan kontraksi balance sheet sebagai bagian dari pengetatan kebijakan moneternya.

Pengalaman normalisasi kebijakan moneter AS di tahun 2018–2019 menunjukkan bahwa kenaikan suku bunga dan kontraksi balance sheet akan berdampak pada peningkatan volatilitas sektor keuangan global, mendorong keluarnya arus modal dari negara berkembang, meningkatkan biaya utang, dan mendorong apresiasi dolar AS.

Eskalasi risiko global telah menciptakan ancaman krisis pangan dan energi, serta meningkatkan probabilitas resesi di banyak negara.

Potensi krisis pangan dan energi mengancam negara berpendapatan rendah yang memiliki ketergantungan terhadap impor serta menghadapi kerentanan fiskal. Di sisi lain, probabilitas resesi di banyak negara juga meningkat (survei Bloomberg, Juli 2022).