Secara perlahan, Ukraina mulai condong ke barat dan meninggalkan Rusia. Bahkan untuk menghilangkan jejak Rusia (Uni Soviet), patung Lenin, salah satu tokoh penting dalam Uni Soviet, dirobohkan. Di 2015, Ukraina menetapkan dalam konstitusinya bahwa bahasa Rusia tidak lagi menjadi bahasa nasional Ukraina. Perkembangan ini membuat Rusia semakin berang.

Baca Juga: Jaringan Komunikasi Dirusak Rusia, Elon Musk Kirim Layanan Internet Satelit di Ukraina

Apalagi jika Ukraina berhasil bergabung dalam NATO, menyusul negara-negara eks-Uni Soviet yang telah duluan bergabung. Secara otomatis ancaman terhadap Rusia dengan keberadaan NATO di Ukraina semakin terasa karena wilayahnya berbatasan langsung dengan Rusia. NATO dengan mudah menempatkan peralatan militer dan militernya di wilayah Ukraina sehingga Rusia akan semakin terkepung dan terancam.

Isu keamanan ini yang berulang kali disampaikan oleh Putin dalam proposal negosiasinya. Namun, tidak diindahkan oleh barat. Putin ingin agar NATO berhenti berekspansi ke wilayah Eropa Timur atau ke negara-negara bekas Uni Soviet. Bahkan Putin merasa telah dibohongi oleh NATO akan janji untuk berekspansi tersebut. Karena terjadi kebuntuan diplomasi sehingga pilihan untuk menyerang Ukraina diambil.

Usaha untuk menguasai Ukraina sebenarnya sudah dilakukan pada 2014 pasca kudeta Presiden Viktor Yanukovich dengan mengambil alih Semenanjung Krimea dari Ukraina melalui referendum masyarakat Krimea yang mayoritas memilih ke Rusia dan meninggalkan Ukraina. Oleh barat referendum tersebut merupakan sebuah aneksasi Rusia atas Krimea (Ukraina).

Jika Rusia Menang

Dalam perang yang dilakukan, Rusia sudah paham akan resiko yang akan dihadapi termasuk sanksi ekonomi yang akan membuat performa ekonominya cukup terdampak. Namun, isu keamanan – kecondongan Ukraina pada barat dan ekspansi NATO – dianggap menjadi prioritas. Bahkan dalam pidato Putin sebelum melancarkan perang, ditegaskan bahwa solusi diplomasi tetap terbuka namun tidak akan menegosiasikan masalah keamanan negaranya.