“Virus sialan”, batinnya.

Injan memutuskan keluar dari kamarnya yang berukuran enam kali empat meter itu. Kamarnya telihat seperti kamar indekos. Minim barang-barang. Hanya barang seperlunya. Sudah seperti mahasiswa saja. Padahal Injan baru duduk di bangku kelas satu SMA.

Injan menyusuri tiap ruangan dalam rumahnya. Dimulai dari dapur, ruang makan, menuju ruang tamu, ke teras depan, dan berakhir di kamar Ibunya. Sangat sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Suara nyamuk pun jelas terdengar.

“Ibu, Injan boleh masuk?”, tanya Injan dari luar.

Injan lahir dari keluarga dengan tata krama terdidik. Ia bukannya canggung terhadap Ibunya sendiri. Injan diajar untuk selalu meminta izin terlebih dahulu kepada siapapun itu.

“Masuk saja, Nduk”, jawab Ibu dengan lembut.

Injan masuk. Duduk di pinggiran kasur. Memulai bulatan-bulatan kecil dengan jemarinya di atas kasur Ibunya.

“Bu, Ayah kapan libur?”

“Gak tau, Nduk. Kenapa memangnya?”, tanya ibu penasaran.

“Injan kesal dengan Ayah. Terlalu Sibuk. Tidak ada waktu buat Injan. Maksud Injan, kenapa Ayah lebih mementingkan pasiennya daripada anaknya sendiri? Ayah sayang gak sih sama Injan?” tanya Injan dengan perasaan campur aduk.

Ibunya bangkit. Memegang tangan Injan. Menatap matanya. Mulai memberi pengertian.

“Hus, gak boleh menghardik seperti itu, Nduk. Injan tahu kan Ayah adalah dokter. Injan paham betul apa tugas dari seorang dokter. Ayah bukannya tidak sayang dengan Injan. Ayah sayang, sayang sekali. Hanya saja, Ayah sedang sangat dibutuhkan di luar sana”, balas Ibu dengan penuturan lembut. Lembut sekali.

“Hmm”

“Daripada cemberut seperti itu, bagaimana kalau Injan bantu Ibu buat kue ulang tahun? Besok ulang tahun Ayah. Mau?”, tanya Ibu mulai meggodai.