“Injan,” teriak Ibu..

“Injan, Injan,” teriakan kedua dari Ibu.

“Injan! Injan!,” teriakan ketiga disertai suara gedoran pintu kamar.

Injani tersadar dari tangisannya.

“Iya, Bu. Injan keluar”.

Saat itu juga ia menyeka pipinya. Meninggalkan semua pikirannya.

“Kamu itu seharian ini di kamar terus. Mikirin apa toh, Nduk?”

“Nggak, Bu. Injan gak apa-apa”.

Injan berbohong. Entah berapa kali ia berbohong hari ini. Jauh di lubuk hatinya, ia mengkhawatirkan sesuatu. Ia merindukan hal-hal yang lagaknya susah diwujudkan.

“Kalau ada apa-apa, cerita sama Ibumu ini. Barangkali Ibu bisa bantu, Nduk”.

“Bu . . .”

Kata-kata Injan tersendat. Matanya berkaca-kaca. Air mata menumpuk di pelupuk matanya lalu mengalir.

“Bu, Bu. . .”

“Bu, Injan rindu Ayah.”

Ibunya meraih. Memeluknya. Seketika itu Injan menangis sejadi-jadinya. Kini hanya suara Injan dengan isak tangis yang terdengar. Memenuhi ruang makan malam itu.***

Baca Juga : Vaksin Demi Bansos

Baca Juga : Memori Kolektif dan Refleksi Pahlawan

Pilihan Video