Sampai di rumah sakit, mereka dipasangkan APD. Dizinkan bertemu dengan Ayah. Benar saja Ayah telihat tidak berdaya. Layar monitor ICU menunjukkan keadaan Ayah yang benar-benar kritis. Tekanan darah menurun. Denyut jantung tidak normal. Menunjukkan angka 40 kali bpm. Saturasi oksigen tidak menujukkan angka seharusnya. Frekuensi napas rendah. Kata dokter, Ayah gagal napas.

Tiba-tiba saja layar monitor ICU mengeluarkan suara berbeda.

“Tuutt tuuttt tuuuuuuuutttt”

Dokter berlarian menuju ruangan Ayah. Injan dan Ibunya digeser keluar oleh perawat. Di luar ruang ICU, Injan dan Ibunya berpelukan. Mereka menangis. Hanya tangisan yang dapat mewakilkan perasaan mereka.

Setelah tiga puluh menit, dokter keluar. Meminta maaf. Katanya:

“Hari ini Rabu, 4 Agustus 2020, jam sepuluh lewat enam belas menit, pasien atas nama Pak Hendra telah berpulang. Maaf tidak bisa menyelamatkan.”

Injan terduduk. Dunianya seketika runtuh. Tahun ini kembali memukul dengan telak. Saking telaknya Injan benar-benar dipukul jatuh hingga nyaris berantakan. Ayah telah berpulang ke pelukan Yang Kuasa. Dari semua kepahitan yang bisa kapan saja datangnya, ini adalah hal yang paling mengguncang. Sungguh hati Injan patah. Meski beberapa kali pernah membayangkan ini, mencoba mempersiapkan diri. Injan seketika teringat dengan perkataan Ayah.

“Ketetapan-Nya yang terbaik.”

Kalimat itu pula yang menguatkan saat harus melepas Ayah.

***

Sebulan berlalu. Kini hanya Injan dan Ibunya yang tersisa. Covid-19 benar-benar merenggut nyawa orang terkasih. Tidak memandang siapa pun.

Ditengah gemerlapnya kota, di sudut kamar sana, Injan duduk dengan berbagai pikiran yang berkecamuk. Sedari tadi ia tidak berhenti menoleh keluar jendela. Entah apa yang ia cari. Entah apa yang ia khawatirkan. Sepertinya ia menunggu seseorang. Malam itu, disudut kamar sana, hanya sebulir air mata yang mula membasahi pipi.