Ada perasaan bergidik bagi Injan. Dalam benaknya ia bertanya-tanya. Apa yang terjadi dengan Indonesia? Apa virus ini menakutkan? Apa virus ini seperti film World War Z? Bagi Injan sendiri, virus identik dengan zombie. Wajar saja, ia sangat menyukai genre film seperti itu. Pertanyaan terakhir adalah, Apakah sekolah akan diliburkan? Ada sedikit perasaan senang.

“Kalau pemerintah mengambil tindakan ‘meliburkan’, bagaimana nasib kita?”, tanya Ayah di atas sofa sembari membolak-balikkan halaman koran.

“Injan gak tau, Yah. Kalau libur, Injan pastinya akan senang”, jawab Injan penuh semangat.

“Kenapa?”, Ayah balik bertanya kepada putri semata wayangnya itu.

“Karena Injan bakal punya waktu lebih buat jalan-jalan, main bareng teman, menghabiskan film seharian. Seru, Yah”.

Injan sangat bersemangat. Ia belum tahu kebijakan apa yang akan diterapkan pemerintah untuk menanggulangi virus ini.

***

Detik ke menit. Menit ke jam. Jam ke hari. Hari ke minggu. Minggu ke bulan. Tidak terasa sudah enam bulan sejak Covid-19 menyerang Indonesia dan negara-negara lannya di dunia. Waktu berlalu begitu cepat. Satu hal yang paling Injan sesalkan adalah, libur kali ini tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan.

Di kamar, Injan sesak. Injan bosan. Injan marah. Ia tidak suka situasi ini. Bahkan ia kesal dengan Ayahnya sendiri. Jauh di lubuk hatinya, ia sangat berharap libur dadakan ini ia punya waktu luang dengan Ayahnya itu. Wajar saja, Ayah adalah seorang dokter. Di hari-hari biasa, Ayahnya sangat sibuk. Libur pun jarang di rumah. Sibuk mengurusi pasiennya. Tapi lupa dengan anaknya sendiri. Setidaknya begitulah yang Injan pikirkan. Situasi genting seperti ini, Ayah malah ditugaskan mengurusi pasien positif Covid-19.