Abian mengehela napasnya. Dia kemudian beralih pada sepiring nasi dengan beberapa lauk yang tadi disuguhkan sang ibu di depannya. Anak itu akhirnya berhenti bertanya walau sebenarnya dia masih penasaran mengenai Virus Corona. Maka Abian berinisiatif untuk bertanya kepada orangtuanya sehabis mereka makan malam nanti.

* * *

Di ruang tengah yang nampak sederhana itu, Abian dan keluarganya berkumpul dengan menyaksikan sebuah berita yang mewartakan Virus Corona yang lagi-lagi memakan korban jiwa. Sang presenter bernarasi, memberitahukan berita duka yang kali ini datang dari seorang dokter muda yang akan melaksanakan pernikahannya bulan depan. Ayah dan ibunya fokus menyaksikan televisi sembari mendengarkan penuturan sang presenter. Sementara di sudut sofa, sang kakak sibuk memainkan ponselnya seperti biasa. Mengabaikan sekitar.

Sesekali Abian akan mendengar ibunya berbicara sendiri, seperti ‘kasihan sekali, padahal sebentar lagi dia akan menikah’, ‘makin parah saja Virus Corona ini’, dan banyak lagi ocehan-ocehan lainnya yang tak Abian dengar dengan jelas.

Di sisi lain, ayahnya hanya diam saja tanpa berkomentar satu katapun walau hanya sekedar menanggapi ocehan-ocehan sang istri. Biasanya memang seperti itu, ibu yang super cerewet sedangkan ayah yang pendiam selayaknya patung.

“Setiap hari ponsel saja kerjaanmu, apa tidak bisa istirahat dulu beberapa jam saja. Tidak lihat itu kacamatamu sudah mines berapa? Bisa-bisa mata kamu rusak, Nadia!”

Beberapa menit berlalu, ketika Abian sedang fokus membaca headline berita yang baru saja berganti mengenai bertambahnya kasus Virus Corona, suara sang ibu menginstrupsi dan membuatnya mengalihkan atensi.

Nadia merupakan nama kakak perempuannya. Dan ini pertama kalinya Abian mendengar sang ibu menegur kakak perempuannya itu mengenai kebiasaannya yang kadang lupa waktu kalau sudah berhadapan dengan ponsel. Mungkin sang ibu sudah lelah melihatnya. Sudah pasti. Sebab Abian juga berpikir demikian.