Kadang Abian heran melihat sang kakak yang tiap hari menghabiskan waktunya dengan memandangi ponselnya terus-menerus. Entah apa yang begitu menarik di balik benda persegi itu sampai-sampai membuat sang kakak seolah tak lagi perduli dengan sekitar. Seperti memiliki dunianya sendiri.

Nadia tidak menyahut. Ia hanya diam tanpa berani menoleh menatap sang ibu. Ponselnya ia turunkan kemudian pandangannya beralih pada televisi. Siapapun tahu bahwa ucapan sang ibu tak bisa disanggah. Itu adalah mutlak. Dan baik Abian ataupun Nadia, keduanya tahu bahwa sang ibu cerewet hanya karena ia begitu menyayangi anak-anaknya. Sang ibu hanya sedang menasehati.

“Tidur sana! Bukannya besok kamu mau UTS? Dan awas kalau sampai di kamar kamu masih main ponsel, mama bakalan sita ponsel kamu!” suara Sang Ibu kembali terdengar, kali ini lebih keras. Semua orang terdiam, tak terkecuali sang ayah. Pun dengan Abian yang langsung beranjak dari tempat duduknya kemudian lekas berlalu menuju kamarnya.

Tak berselang lama setelah kepergian Abian, Nadia juga beranjak dari duduknya kemudian berlari kecil menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Suasana hati sang ibu sedang tidak baik-baik saja, untuk itu Abian melupakan rencananya untuk  melanjutkan pertanyaan yang hendak ia tanyakan di meja makan tadi. Abian harus menunggu hari esok.

* * *

Abian adalah anak yang pintar, bahkan ketika anak-anak lain membenci matematika yang katanya memusingkan itu, tetapi Abian justru menyukainya. Berhitung adalah satu hal yang menyenangkan, apalagi kalau berhasil memecahkan soal-soal yang dipenuhi nomor-nomor itu. Begitulah Abian berpendapat ketika menjawab pertanyaan salah seorang kawannya yang mempertanyakan mengapa dia menyukai matematika. Yang pada akhirnya kawannya itu tetap tidak mengerti.