Salah satu dampak kondisi extraordinary tersebut, pemerintah harus mengambil langkah berani namun tetap penuh kehati-hatian untuk menetapkan defisit APBN-P 2020 yang kedua (Perpres Nomor 72 Tahun 2020) sebesar 6,34% terhadap PDB.

Kemudian, pada tahun 2021 estimasi defisit APBN diproyeksikan sebesar 5,70% terhadap PDB atau turun 10% dibandingkan tahun 2020. Serta, pada tahun 2022, estimasi defisit APBN kembali diturunkan menjadi 4,85% terhadap PDB, atau turun sebesar 15% dibandingkan tahun 2021.

Dan akhirnya, estimasi defisit APBN 2023 diturunkan kembali sebesar 41,44% dibandingkan tahun 2022 menjadi 2,84% terhadap PDB.

Kondisi tersebut menunjukkan adanya optimisme pemerintah dalam merencanakan dan mempersiapkan kebijakan fiskal di tahun 2023 yang secara on track mengembalikan estimasi defisit APBN di bawah 3% sesuai dengan milestones pemulihan ekonomi nasional.

Namun demikian, dinamika global sepanjang tahun 2022 tidak juga mengalami penurunan. Setelah era pandemi Covid-19 yang belum benar-benar berakhir, dunia kembali mengalami shock. Perang Rusia dan Ukraina menyebabkan naiknya risiko resesi global sehingga mendorong resesi di sejumlah negara.

Kebijakan fiskal pemerintah melalui APBN 2023 akan kembali diuji dengan risiko resesi global yang terus meluas. Lantas, bagaimana upaya pemerintah untuk tetap menjaga postur APBN 2023 tetap on track?

Arah Kebijakan Fiskal 2023

Mengutip informasi dari Kebijakan Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2023, pemerintah telah menetapkan tema “Peningkatan Produktivitas untuk Transformasi Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan”.

Tema tersebut diarahkan dalam rangka menjaga keberlanjutan fiskal melalui langkah konsolidasi fiskal secara berkualitas dengan didukung reformasi fiskal yang komprehensif dalam rangka optimalisasi dari sisi pendapatan, peningkatan kualitas belanja, serta mendorong pembiayaan yang inovatif dan berkelanjutan.